Kamis, 01 Desember 2016

Faisal Fathur, Mahasiswa UNJ Sebagai Peserta Termuda Dalam Kelas Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta


Untuk pertama kalinya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) membuka kelas kritik sastra. Pendaftaran dibuka pada tanggal 1 Juli 2016 dan ditutup pada tanggal 27 Juli 2016. Namun hal yang unik ialah bagaimana proses seleksi dilakukan. Peserta diminta untuk mengirim contoh kritik sastra dan akan dipilih oleh pengajar langsung. Hanya 16 orang yang terpilih yang dapat mengikuti kelas tersebut. Pengajar dalam kelas kritik sastra sendiri adalah AS Laksana dan Martin Suryajaya. Kegiatan ini dilakukan dalam delapan pertemuan, dimulai dari bulan Agustur hingga September 2016.

Rabu, 03 Agustus 2016

Jemput Aku di Jakarta

Secangkir kopi hitam kuaduk perlahan untuk mengentalkan rasanya. Pagi itu matahari bersaing dengan rimbunan awan untuk mencuri perhatian langit yang bertengger di kota Bandung. Tapi rasanya aku masih menggeliat di dalam mimpiku meskipun aku setengah sadar mengaduk kopi itu.
Bayanganmu, yang biasa menjadi bunga tidurku, masih terus berputar mencari jalan keluar dari kepalaku-- atau memang sengaja terpenjara untuk menggodaku. Baru saja semalam kita bertemu dan kau hanya selintas menyapaku. Pagi ini kau kembali singgah di halaman rumah. Membuka pagar besi yang setiap pagi gemboknya selalu dibuka oleh pak Parman, pembantuku, lalu menyapaku dengan senyuman itu. Senyuman yang tak berubah.

Kamis, 21 Juli 2016

Asmara Melodika

Coba dengarkan,
Alunan melodius dari piano Beethoven yang menggema
Hanya untuk menemani kita berdansa.
Coba lihat,
Pena bulu yang menari indah dari tangan Shakespeare yang lelah
Hanya untuk menjamu mata kita.
Kita,
Rama dan Sinta yang menjalin cinta di hari jingga
Senja semakin berembun di puncak asmara
Di kahyangan jiwa kita bersenandung riang.
Aku mengecup mesra bibirmu yang lembut
Jemari kita beradu
Mata kita saling bersetubuh
Malam pekat makin gaduh
Kita terkubur ke dalam alunan simfoni yang teduh.

Minggu, 05 Juni 2016

Siren

           Air matanya jatuh tanpa ada aba-aba dari diri Siren. Ia tak kuasa mendengar kabar bahwa suaminya tewas dalam kebakaran. Padahal baru dua minggu mereka bertukar cincin di depan penghulu. Masih ramai sekali perbincangan dia dengan teman-temannya di media sosial mengenai pernikahan mereka itu. Tapi ternyata kenyataan lebih kejam dari harapan. Ya, sebelumnya ia mempunyai harapan dengan suaminya, Atma, untuk memberi nama anak pertamanya. Suaminya berkata sudah menyiapkan nama yang baik untuk bayinya nanti. Namun, suaminya saja bahkan masih belum tahu apakah ia akan menjadi ayah atau belum. Siren mengerang antara marah dan kecewa. Ia mengutuk Tuhan yang seakan mencuri kebahagiaannya. Selang lima menit ia pun pingsan di sandaran kakaknya, Rahma.

Sabtu, 07 Mei 2016

Bunga yang Layu

            Ketika turun dari angkutan umum itu aku mulai meraba-raba lagi masa lalu. Jalan ini adalah jalan yang dulu aku lewati dan sekarang aku akan melewatinya lagi. Jalanan yang hanya ada jalan lurus ini aku tapaki, lalu pada gang pertama di sebelah kanan itu ku masuki dan ku ikuti jalannya yang berkelok-kelok hingga di belokan yang terakhir terdapat satu gang lagi di sebelah kanan. Ke dalam gang itu aku kunjungi lagi jalannya dengan langkah kakiku. Rumah kedua dari mulut gang. Aku hafal betul. Inilah rumah yang dulu aku kunjungi dengan selalu membawa bingkisan. Kali ini untuk sekian lamanya aku mengetuknya kembali pintu berwarna coklat itu. Sungguh merindukan.

Kamis, 28 April 2016

Cinta yang Bertengger Di Buku Sastra

            Lelaki paruh baya itu melangkahkan kakinya dengan lembut mengitari taman menjajakan dagangannya. Beruntung banyak orang yang sedang berkunjung di taman ini. Langkah kakinya mengiringi senyumnya yang menggambarkan lelah. Dagangan itu ialah dagangan yang dibuat sepenuh hati oleh istrinya, untuk keberlangsungan hidup mereka. Di dagangan terakhir itu, yang bersandar pada nampan yang lusuh, aku melihatmu, membeli dagangan terakhir tersebut dengan senyum yang hanya kau yang punya. Lelaki itu terlihat sangat puas dan mulai meninggalkan taman dengan keceriaannya. Dari lelaki paruh baya itu, mataku mulai beralih kepada dirimu. Wanita dengan rambut terurai, panjang dan berkilauan. Kecantikanmu bahkan tak terhalangi oleh buku yang sedang kau pegang sambil kau baca itu. Aku tahu kau tak menunggu seseorang tetapi hanya sedang merehatkan pikiranmu.

Minggu, 03 April 2016

Bunga Langit Tanpa Warna


Untuk kekasih yang telah hilang,


Ada yang putih bersih mewarnai langit yang jatuh di pangkuan kekasih
Ada yang bersinar di antara pelangi dan awan hitam yang berhembus di kerangkauan
Engkau yang berdiri tegak, tersenyum tanpa aku tahu
Jika saja mawar yang kau genggam tak layu
'kan ku bias dengan serpihan air mata
Warnamu memudar seperti jatuh dari yang terpendar
Biar saja langit berbicara pada warnamu,
meminjam pelangimu yang telah kau tikam dengan belati kesepian
Kau layu seperti bunga yang menangis di musim kemarau.

Selasa, 09 Februari 2016

Kritik Sosial Dalam Kisah Percintaan “Awal dan Mira”

            Setelah pusing memikirkan tumpukan tugas, saya merasa butuh hiburan ringan. Lelah sekali rasanya mengerjakan tugas. Meskipun begitu, tugas masih saya kerjakan. Dan beruntung saya memilih tugas yang terbilang menghibur. Tak saya duga naskah “Awal dan Mira” sangat ringan dibaca. Seperti novel saja. Saya bahkan merasa seperti sedang membaca novel ketimbang membaca naskah drama. Tapi ketika saya lihat, naskah ini memang sengaja diubah oleh penerbit pertamanya, yaitu majalah Indonesia yang ternyata lebih mengedepankan karya prosa. Untuk itulah naskah ini dibuat seperti cerita pendek.