Rabu, 03 Agustus 2016

Jemput Aku di Jakarta

Secangkir kopi hitam kuaduk perlahan untuk mengentalkan rasanya. Pagi itu matahari bersaing dengan rimbunan awan untuk mencuri perhatian langit yang bertengger di kota Bandung. Tapi rasanya aku masih menggeliat di dalam mimpiku meskipun aku setengah sadar mengaduk kopi itu.
Bayanganmu, yang biasa menjadi bunga tidurku, masih terus berputar mencari jalan keluar dari kepalaku-- atau memang sengaja terpenjara untuk menggodaku. Baru saja semalam kita bertemu dan kau hanya selintas menyapaku. Pagi ini kau kembali singgah di halaman rumah. Membuka pagar besi yang setiap pagi gemboknya selalu dibuka oleh pak Parman, pembantuku, lalu menyapaku dengan senyuman itu. Senyuman yang tak berubah.