Secangkir kopi hitam kuaduk perlahan
untuk mengentalkan rasanya. Pagi itu matahari bersaing dengan rimbunan awan
untuk mencuri perhatian langit yang
bertengger di kota Bandung. Tapi rasanya aku
masih menggeliat di dalam mimpiku meskipun aku setengah sadar mengaduk kopi
itu.
Bayanganmu, yang biasa menjadi
bunga tidurku, masih terus berputar mencari jalan keluar dari kepalaku-- atau
memang sengaja terpenjara untuk menggodaku. Baru
saja semalam kita bertemu dan
kau hanya selintas menyapaku.
Pagi ini kau kembali singgah di halaman rumah. Membuka pagar besi yang setiap pagi gemboknya selalu
dibuka oleh pak Parman, pembantuku, lalu menyapaku dengan senyuman itu. Senyuman
yang tak berubah.