Rabu, 03 Agustus 2016

Jemput Aku di Jakarta

Secangkir kopi hitam kuaduk perlahan untuk mengentalkan rasanya. Pagi itu matahari bersaing dengan rimbunan awan untuk mencuri perhatian langit yang bertengger di kota Bandung. Tapi rasanya aku masih menggeliat di dalam mimpiku meskipun aku setengah sadar mengaduk kopi itu.
Bayanganmu, yang biasa menjadi bunga tidurku, masih terus berputar mencari jalan keluar dari kepalaku-- atau memang sengaja terpenjara untuk menggodaku. Baru saja semalam kita bertemu dan kau hanya selintas menyapaku. Pagi ini kau kembali singgah di halaman rumah. Membuka pagar besi yang setiap pagi gemboknya selalu dibuka oleh pak Parman, pembantuku, lalu menyapaku dengan senyuman itu. Senyuman yang tak berubah.

Kau menyentilku. "Dasar pengangguran. Pagi begini bukannya mencari rezeki malah ngopi." Ah, bisa saja godaanmu itu. "Aku lelah habis berpetualang semalam setelah berbincang denganmu. Bagaimana rasanya setelah pergi sekian lama lalu kembali ke tempat kamu lahir? Butuh adaptasi?" ejekku.
"Tentu tidaklah! Tak beda jauh di sini dengan Jakarta. Kapan-kapan kau harus ke sana, merantau."
Merantau. Bukan tak mau tapi bapak sendirian di sini. Apalagi akhir-akhir ini sering kambuh sakitnya. Sudah tua. Anak juga hanya satu-satunya. Dasar orang tua bodoh. Punya anak malah dibuat tumbal semua. Katanya untuk memajukan bisnisnya. Percaya saja sama dukun yang bodoh itu. Meskipun bisnisnya memang benar-benar lancar.
"Lain kali aku akan mengajakmu. Mungkin saja di sana ada pekerjaan untukmu. Namanya juga Jakarta. Pekerjaan menghampar. Meskipun kau mungkin hanya akan jadi budak di sana," ucapmu sambil mencoba menyeruput kopi yang perlahan sudah hilang panasnya.
Menuju Jakarta denganmu? Rasanya denganmu itu hanyalah masa lalu saja. Ah, aku jadi teringat ketika kita berjalan menyusur sawah milik bapak. Kita lalu lalang di antara padi-padi yang sedang menguning. Di bawah pohon rindang yang terletak di ujung sawah itu, aku ingat pernah menjamah bibirmu. Kau menerima dan berjanji setia denganku. Aku bahagia.
Tapi kau yang di muka kali ini seperti bukan kau yang dulu di persawahan waktu itu, yang kukecup bibir manisnya, yang masih belia dan polos rupanya. Aku merasa kecewa padamu ketika kau pergi dari sini, kampung halamanmu, Bandung. Kau bermigrasi ke Jakarta untuk ikut ayahmu karena bercerai dengan ibumu. Karena dengan begitu, aku berpikir kau melupakan janjimu, juga aku. Tapi sepertinya tidak begitu.
"Rasanya aku hanya akan di sini melanjutkan usaha bapak. Akhir-akhir ini ia sering sekarat. Aku bingung harus berdoa apa untuknya. Lagipula aku tak mau jadi budak di sana. Menyebalkan jika selalu diperintah-perintah orang. Lebih baik di sini, menjadi tuan tanah dari para petani, menjadi yang memerintah. Dan pasti aku akan mengganggumu juga jika ikut ke Jakarta," sindirku.
"Mengganggu bagaimana? Aku tak masalah."
"Mungkin saja kau punya kekasih di sana. Aku tak mau adanya salah paham. Ngomong-ngomong kapan kau ke Jakarta lagi?"
"Malam ini. Aku harus buru-buru karena pekerjaan yang menumpuk. Aku ingin minta tolong padamu untuk mengantarkanku ke terminal. Apa kau bisa?"
"Baiklah. Kabarkan saja nanti," kataku sambil ikut menyeruput kopi yang pahit. Mana yang pahit saat ini menurutmu? Aku pikir melihatmulah yang lebih pahit. Mungkin aku membutuhkan gula saat ini.
Kau izin pulang ketika dipanggil ibumu. Aku lihat kau pergi dengan sedikit berlari. Ketika keluar dari pintu gerbang itu, kau menoleh ke belakang, ke arahku, dan melambaikan tanganmu. Di saat itu rasanya ada yang menggebu dalam darahku. Sesuatu yang mengulang seperti dulu.
Matahari makin perkasa di langit. Kau lagi-lagi datang ke rumah di siang terik begini. Mengetuk pintu kemudian beralih ke jendela kamarku yang menghadap ke luar itu ketika tak ada jawaban dari dalam. Kau seperti membaca kebiasaanku saja.
"Kau itu dari dulu 'kan memang selalu mendekam di kamar kalau sedang terik begini," katamu yang siang ini mengikat rambut belakangmu hingga tengkukmu yang putih menjadi pusat perhatian bagi lelaki yang lalu lalang.
"Ayo ikut aku!" tegasmu.
Kau mengajakku berjalan mengitari kampung kelahiranmu. Rindukah engkau? Jika ya maka pada siapa? Adakah itu aku? Kau mampir ke warung kelontong pinggiran jalan. Kau menyapa teman lamamu, teman SMA-mu itu. Ratna. Kau berpelukan dan bercerita bahwa baru semalam kau datang. Meskipun tak akan lama di sini. Tak lupa juga kau mengundang ia untuk mampir ke Jakarta. Mata Ratna mulai menatap ke arahku. Ada sedikit senyum yang menjengkelkan di wajahnya. Ia melirik ke arahmu sambil menggoda. Kau tersipu. Bagaimana aku?
Melanjutkan perjalanan, kita menuju ke sawah milik bapak. Ada banyak lahan kosong. Wajar saja, musim panen. Kau merebah di atas serpihan tumbuban padi. Ternyata masih ada sifat kampungmu itu. Kau mengajakku untuk rebah di sampingmu. Aku menurut.
"Di sini, aku mengingatnya," katamu sambil menatap langit di bawah pohon yang rindang di mana kau berjanji kepadaku.
"Ingat apa?" jawabku pura-pura.
"Ingat nakalnya dirimu. Kau yang pertama kali mencurinya loh!"
Aku tersenyum. Sedikit tertawa.
"Sudah. Jangan bahas itu. Biar saja berlalu,” kataku.
Kau terkekeh lalu memelukku. Aku membiarkan.
"Aku tidak pergi tapi menunggumu. Kejarlah aku hingga terluka kakimu. Peluk aku." ucapmu.
Aku pura-pura tak dengar dan melelap saja pada rebahku. Sambil memelukmu. Sepertinya aku jatuh hati lagi padamu.
Malam-malam bapak kambuh. Dan sepertinya tambah parah. Mau tak mau aku harus melarikannya ke rumah sakit. Pak Parman mengeluarkan mobil dari garasi dan langsung tancap gas menuju rumah sakit bersamaku. Pada waktu itu aku melewati rumahmu. Aku melihatmu dengan koper di tanganmu, wajahmu gelisah melihat aku di dalam mobil. Sedangkan aku melihatmu sekilas bercampur perasaan was-was.
Bapak sekarat, benar-benar sekarat. Dokter hanya mengucapkan aku harus sabar dan tabah. Ya, kurang lebih itu yang sedang aku lakukan sekarang. Meskipun perasaanku terhadap bapak kadang sangat kesal tapi dalam keadaan begini aku tetaplah masih khawatir.
Ibumu datang melihat keadaan bapak. Ia tergesa-gesa dan sangat khawatir pula. Tetapi ada satu hal penting yang ia bawa, suratmu.
Isinya:
Aku tahu kau pergi ke mana hingga akhirnya aku memilih untuk pergi sendiri saja. Aku doakan yang terbaik untuk bapakmu. Kau tak perlu khawatir juga karena tak bisa mengantarku. Bapak menjadi prioritasmu malam ini.
Dengan surat ini aku mempunyai harap padamu. Jemputlah aku di Jakarta. Aku menunggumu. Sesungguhnya aku masih mencintaimu. Aku tak memiliki kekasih di Jakarta karena aku telah berjanji padamu. Sekali lagi datanglah ke Jakarta dan kecup aku lagi di bawah langit gelap ibu kota.
Bapak menemu ajal. Garis lurus di monitor yang memberitahuku. Sepertinya aku memang akan segera ke Jakarta secepatnya.
Paginya aku datang ke Jakarta untuk menjemputmu. Menjemput mayatmu yang terdaftar sebagai korban kecelakaan dari bus yang kau tumpangi. Sepertinya kau baik sekali ingin menemani bapak ke akhirat meskipun aku tak tahu apakah akan sama-sama menuju surga atau tidak.

Aku mengecupmu dengan mata yang bersimbah luka.

2 komentar:

  1. pertama, gue agak kecewa ternyata ini kisah tentang cinta. agak picisan pula.
    kedua, gue merasa ada yang berbeda dengan cara bercerita lu. dan gue suka dengan yang ini. lebih baca-able. hehe
    ketiga, menarik karena ada latar tentang jakarta. tapi menurut gue, bandung masih bukan lawan bagi jakarta. karena bandung kini udah 11-13 sama jakarta. mungkin kalau daerah lain masih bisa mewakili terutama sektor pertanian.
    sekian.
    ditunggu yang berikutnya

    BalasHapus
  2. Lumayan lah ..
    Tapi di akhir menurut gue terlalu mainstream ..
    saran aja sih..
    coba bikin cerita tuh di akhirnya yg ga biasa ..
    oke ..

    BalasHapus