Secangkir kopi hitam kuaduk perlahan
untuk mengentalkan rasanya. Pagi itu matahari bersaing dengan rimbunan awan
untuk mencuri perhatian langit yang
bertengger di kota Bandung. Tapi rasanya aku
masih menggeliat di dalam mimpiku meskipun aku setengah sadar mengaduk kopi
itu.
Bayanganmu, yang biasa menjadi
bunga tidurku, masih terus berputar mencari jalan keluar dari kepalaku-- atau
memang sengaja terpenjara untuk menggodaku. Baru
saja semalam kita bertemu dan
kau hanya selintas menyapaku.
Pagi ini kau kembali singgah di halaman rumah. Membuka pagar besi yang setiap pagi gemboknya selalu
dibuka oleh pak Parman, pembantuku, lalu menyapaku dengan senyuman itu. Senyuman
yang tak berubah.
Kau menyentilku. "Dasar
pengangguran. Pagi begini bukannya mencari rezeki malah ngopi." Ah, bisa
saja godaanmu itu. "Aku lelah habis berpetualang semalam setelah
berbincang denganmu. Bagaimana rasanya setelah pergi sekian lama lalu kembali
ke tempat kamu lahir? Butuh adaptasi?"
ejekku.
"Tentu tidaklah! Tak beda jauh di sini
dengan Jakarta. Kapan-kapan kau harus ke sana, merantau."
Merantau. Bukan tak mau tapi bapak
sendirian di sini. Apalagi akhir-akhir ini sering kambuh sakitnya. Sudah tua.
Anak juga hanya satu-satunya. Dasar orang tua bodoh. Punya anak malah dibuat
tumbal semua. Katanya untuk memajukan bisnisnya. Percaya saja sama dukun yang bodoh
itu. Meskipun bisnisnya memang benar-benar lancar.
"Lain kali aku akan mengajakmu.
Mungkin saja di sana ada pekerjaan untukmu. Namanya juga Jakarta. Pekerjaan
menghampar. Meskipun kau mungkin hanya akan jadi budak di sana," ucapmu
sambil mencoba menyeruput kopi yang perlahan sudah hilang panasnya.
Menuju Jakarta denganmu? Rasanya
denganmu itu hanyalah masa lalu saja. Ah,
aku jadi teringat
ketika kita berjalan menyusur sawah milik bapak. Kita lalu lalang di antara padi-padi yang sedang
menguning. Di bawah pohon rindang yang terletak di ujung sawah itu, aku ingat
pernah menjamah bibirmu. Kau menerima dan
berjanji setia denganku. Aku bahagia.
Tapi kau yang di muka kali ini
seperti bukan kau yang dulu di persawahan waktu itu, yang kukecup bibir
manisnya, yang masih belia dan polos rupanya. Aku merasa kecewa padamu ketika
kau pergi dari sini, kampung halamanmu, Bandung. Kau bermigrasi ke Jakarta
untuk ikut ayahmu karena bercerai dengan ibumu. Karena dengan begitu, aku
berpikir kau melupakan janjimu, juga aku. Tapi sepertinya tidak begitu.
"Rasanya aku hanya akan di
sini melanjutkan usaha bapak. Akhir-akhir ini ia sering sekarat. Aku bingung
harus berdoa apa untuknya. Lagipula aku tak
mau jadi budak di sana. Menyebalkan jika selalu diperintah-perintah orang. Lebih
baik di sini, menjadi tuan tanah dari para petani, menjadi yang memerintah. Dan
pasti aku akan mengganggumu juga jika ikut ke Jakarta," sindirku.
"Mengganggu bagaimana? Aku tak
masalah."
"Mungkin saja kau punya kekasih di
sana. Aku tak mau adanya salah paham. Ngomong-ngomong kapan kau ke Jakarta
lagi?"
"Malam ini. Aku harus buru-buru
karena pekerjaan yang menumpuk. Aku ingin minta tolong padamu untuk
mengantarkanku ke terminal. Apa
kau bisa?"
"Baiklah. Kabarkan saja
nanti," kataku sambil ikut menyeruput kopi yang pahit. Mana yang pahit
saat ini menurutmu? Aku pikir melihatmulah yang lebih pahit. Mungkin aku
membutuhkan gula saat ini.
Kau izin pulang ketika dipanggil ibumu.
Aku lihat kau pergi dengan sedikit berlari. Ketika keluar dari pintu gerbang
itu, kau menoleh ke belakang, ke arahku,
dan melambaikan tanganmu. Di
saat itu rasanya ada yang menggebu dalam darahku. Sesuatu yang
mengulang seperti dulu.
Matahari makin perkasa di langit. Kau
lagi-lagi datang ke rumah di siang terik begini. Mengetuk pintu kemudian beralih ke
jendela kamarku yang menghadap ke luar
itu ketika tak ada jawaban dari dalam. Kau seperti
membaca kebiasaanku saja.
"Kau itu dari dulu 'kan
memang selalu mendekam di kamar kalau sedang terik begini," katamu yang
siang ini mengikat rambut belakangmu hingga tengkukmu yang putih menjadi pusat
perhatian bagi lelaki yang lalu lalang.
"Ayo ikut aku!" tegasmu.
Kau mengajakku berjalan mengitari
kampung kelahiranmu. Rindukah engkau? Jika ya maka pada siapa? Adakah itu aku?
Kau mampir ke warung kelontong pinggiran jalan. Kau menyapa teman lamamu, teman
SMA-mu itu. Ratna. Kau
berpelukan dan bercerita bahwa baru semalam kau datang. Meskipun tak akan
lama di sini. Tak lupa juga kau mengundang ia untuk mampir ke Jakarta. Mata
Ratna mulai menatap ke arahku. Ada sedikit senyum yang menjengkelkan di
wajahnya. Ia melirik ke arahmu sambil menggoda. Kau
tersipu. Bagaimana aku?
Melanjutkan perjalanan, kita menuju ke sawah milik bapak. Ada banyak
lahan kosong. Wajar saja, musim panen. Kau merebah di atas serpihan tumbuban
padi. Ternyata masih ada sifat kampungmu itu. Kau mengajakku untuk rebah di
sampingmu. Aku menurut.
"Di sini, aku mengingatnya,"
katamu sambil menatap langit di bawah pohon yang rindang di mana kau berjanji kepadaku.
"Ingat apa?" jawabku
pura-pura.
"Ingat nakalnya dirimu. Kau yang
pertama kali mencurinya loh!"
Aku tersenyum. Sedikit tertawa.
"Sudah. Jangan bahas itu. Biar saja
berlalu,” kataku.
Kau terkekeh lalu memelukku. Aku
membiarkan.
"Aku tidak pergi tapi menunggumu.
Kejarlah aku hingga terluka kakimu. Peluk aku." ucapmu.
Aku pura-pura tak dengar dan melelap
saja pada rebahku. Sambil memelukmu. Sepertinya aku jatuh hati lagi padamu.
Malam-malam bapak
kambuh. Dan sepertinya tambah parah. Mau tak mau aku harus melarikannya ke
rumah sakit. Pak Parman mengeluarkan mobil dari garasi dan langsung tancap gas
menuju rumah sakit bersamaku. Pada
waktu itu aku melewati rumahmu. Aku melihatmu dengan koper di tanganmu, wajahmu
gelisah melihat aku di dalam mobil. Sedangkan aku melihatmu sekilas bercampur
perasaan was-was.
Bapak sekarat, benar-benar sekarat.
Dokter hanya mengucapkan aku harus sabar dan tabah. Ya, kurang lebih itu yang
sedang aku lakukan sekarang. Meskipun perasaanku terhadap bapak kadang sangat
kesal tapi dalam keadaan begini aku tetaplah masih khawatir.
Ibumu datang melihat keadaan bapak. Ia
tergesa-gesa dan sangat khawatir
pula. Tetapi ada satu hal penting yang ia bawa, suratmu.
Isinya:
Aku
tahu kau pergi
ke mana hingga akhirnya aku
memilih untuk
pergi sendiri saja. Aku doakan yang terbaik untuk bapakmu. Kau tak perlu
khawatir juga karena tak bisa mengantarku. Bapak menjadi prioritasmu malam ini.
Dengan
surat ini aku mempunyai harap padamu. Jemputlah aku di Jakarta. Aku menunggumu.
Sesungguhnya aku masih mencintaimu. Aku tak memiliki kekasih di Jakarta karena
aku telah berjanji padamu. Sekali lagi datanglah ke Jakarta dan kecup aku lagi
di bawah langit gelap ibu kota.
Bapak menemu ajal. Garis lurus di
monitor yang memberitahuku. Sepertinya aku memang akan segera ke Jakarta secepatnya.
Paginya aku
datang ke Jakarta untuk menjemputmu. Menjemput mayatmu yang terdaftar sebagai
korban kecelakaan dari bus yang kau tumpangi. Sepertinya kau baik sekali ingin
menemani bapak ke akhirat meskipun aku tak tahu apakah akan sama-sama menuju
surga atau tidak.
Aku mengecupmu dengan mata yang bersimbah luka.
pertama, gue agak kecewa ternyata ini kisah tentang cinta. agak picisan pula.
BalasHapuskedua, gue merasa ada yang berbeda dengan cara bercerita lu. dan gue suka dengan yang ini. lebih baca-able. hehe
ketiga, menarik karena ada latar tentang jakarta. tapi menurut gue, bandung masih bukan lawan bagi jakarta. karena bandung kini udah 11-13 sama jakarta. mungkin kalau daerah lain masih bisa mewakili terutama sektor pertanian.
sekian.
ditunggu yang berikutnya
Lumayan lah ..
BalasHapusTapi di akhir menurut gue terlalu mainstream ..
saran aja sih..
coba bikin cerita tuh di akhirnya yg ga biasa ..
oke ..