Untuk
pertama kalinya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) membuka kelas kritik sastra. Pendaftaran
dibuka pada tanggal 1 Juli 2016 dan ditutup pada tanggal 27 Juli 2016. Namun hal
yang unik ialah bagaimana proses seleksi dilakukan. Peserta diminta untuk
mengirim contoh kritik sastra dan akan dipilih oleh pengajar langsung. Hanya 16
orang yang terpilih yang dapat mengikuti kelas tersebut. Pengajar dalam kelas
kritik sastra sendiri adalah AS Laksana dan Martin Suryajaya. Kegiatan ini dilakukan
dalam delapan pertemuan, dimulai dari bulan Agustur hingga September 2016.
Bagi Faisal Fathur sendiri hal itu
terlihat sangat menarik karena nantinya ia bisa belajar langsung dari idolanya,
AS Laksana.
“Rasanya tentu saja senang sekali. Apalagi
AS Laksana dan Martin Suryajaya yang mengajar. AS Laksana adalah idola saya,”
ucap mahasiswa Sastra Indonesia UNJ angkatan tahun 2014 itu.
Kelas kritik sastra ini diadakan
oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk menjawab pernyataan bahwa minimnya penulis kritik
sastra Indonesia yang sangat berkualitas saat ini. Pernyataan tersebut
diucapkan melalui website Dewan Kesenian Jakarta sendiri, yaitu dkj.or.id. Dari
kelas ini diharapkan akan munculnya kritikus-kritikus muda yang berbakat.
Tanggal 3 Agustus 2016 merupakan pengumuman
peserta yang terpilih. Dari 16 nama yang tertera, nama Faisal Fathur ada pada
urutan ke-6.
“Tidak menyangka juga akan terpilih
sebagai peserta. Ini salah satu momen yang membahagiakan,” ucap Faisal.
Dirinya menyatakan bahwa sedikit
canggung ketika telah mengikuti kelas kritik sastra ini. Bukan karena AS
Laksana atau Martin Suryajaya dan tentunya bukan karena Maman S. Mahayana yang
sebagai dosen tamu yang membuatnya canggung. Ia mengatakan dirinya adalah yang
termuda dalam kelas itu.
“Iya saya yang termuda di dalam
kelas dan hal itu membuat saya jadi sedikit canggung karena saya yang masih
semester 5 sudah satu kelas dengan orang-orang yang sudah S2,” katanya ketika
ditanya saat sedang duduk-duduk di selasar gedung Q Universitas Negeri Jakarta.
Tugas akhir yang diminta adalah
menulis esai sastra. Hal tersebut cukup menyibukkan Faisal karena ia yang juga
aktif dalam organisasi harus membagi fokus.
“Tugas akhir yang diberikan adalah
membuat esai dan rencananya akan dibukukan. Jadi sekarang saya disibukkan
dengan esai yang harus saya buat karena harus mencari data-datanya sehingga
kegiatan di kampus pun harus terbagi fokusnya,” tutupnya.
Kelas kritik sastra ini sendiri
masih belum diketahui apakah akan membuka lagi atau tidak pada tahun depan. Rasanya
kegiatan ini sangat mendukung bagi kritikus sastra Indonesia untuk tetap
berkembang dan rasanya banyak yang
berharap untuk terus dibuka tiap tahunnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar