Kamis, 01 Desember 2016

Faisal Fathur, Mahasiswa UNJ Sebagai Peserta Termuda Dalam Kelas Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta


Untuk pertama kalinya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) membuka kelas kritik sastra. Pendaftaran dibuka pada tanggal 1 Juli 2016 dan ditutup pada tanggal 27 Juli 2016. Namun hal yang unik ialah bagaimana proses seleksi dilakukan. Peserta diminta untuk mengirim contoh kritik sastra dan akan dipilih oleh pengajar langsung. Hanya 16 orang yang terpilih yang dapat mengikuti kelas tersebut. Pengajar dalam kelas kritik sastra sendiri adalah AS Laksana dan Martin Suryajaya. Kegiatan ini dilakukan dalam delapan pertemuan, dimulai dari bulan Agustur hingga September 2016.
            Bagi Faisal Fathur sendiri hal itu terlihat sangat menarik karena nantinya ia bisa belajar langsung dari idolanya, AS Laksana.
            “Rasanya tentu saja senang sekali. Apalagi AS Laksana dan Martin Suryajaya yang mengajar. AS Laksana adalah idola saya,” ucap mahasiswa Sastra Indonesia UNJ angkatan tahun 2014 itu.
            Kelas kritik sastra ini diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk menjawab pernyataan bahwa minimnya penulis kritik sastra Indonesia yang sangat berkualitas saat ini. Pernyataan tersebut diucapkan melalui website Dewan Kesenian Jakarta sendiri, yaitu dkj.or.id. Dari kelas ini diharapkan akan munculnya kritikus-kritikus muda yang berbakat.
             Tanggal 3 Agustus 2016 merupakan pengumuman peserta yang terpilih. Dari 16 nama yang tertera, nama Faisal Fathur ada pada urutan ke-6.
            “Tidak menyangka juga akan terpilih sebagai peserta. Ini salah satu momen yang membahagiakan,” ucap Faisal.
            Dirinya menyatakan bahwa sedikit canggung ketika telah mengikuti kelas kritik sastra ini. Bukan karena AS Laksana atau Martin Suryajaya dan tentunya bukan karena Maman S. Mahayana yang sebagai dosen tamu yang membuatnya canggung. Ia mengatakan dirinya adalah yang termuda dalam kelas itu.
            “Iya saya yang termuda di dalam kelas dan hal itu membuat saya jadi sedikit canggung karena saya yang masih semester 5 sudah satu kelas dengan orang-orang yang sudah S2,” katanya ketika ditanya saat sedang duduk-duduk di selasar gedung Q Universitas Negeri Jakarta.
            Tugas akhir yang diminta adalah menulis esai sastra. Hal tersebut cukup menyibukkan Faisal karena ia yang juga aktif dalam organisasi harus membagi fokus.
            “Tugas akhir yang diberikan adalah membuat esai dan rencananya akan dibukukan. Jadi sekarang saya disibukkan dengan esai yang harus saya buat karena harus mencari data-datanya sehingga kegiatan di kampus pun harus terbagi fokusnya,” tutupnya.

            Kelas kritik sastra ini sendiri masih belum diketahui apakah akan membuka lagi atau tidak pada tahun depan. Rasanya kegiatan ini sangat mendukung bagi kritikus sastra Indonesia untuk tetap berkembang  dan rasanya banyak yang berharap untuk terus dibuka tiap tahunnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar