Kamis, 28 April 2016

Cinta yang Bertengger Di Buku Sastra

            Lelaki paruh baya itu melangkahkan kakinya dengan lembut mengitari taman menjajakan dagangannya. Beruntung banyak orang yang sedang berkunjung di taman ini. Langkah kakinya mengiringi senyumnya yang menggambarkan lelah. Dagangan itu ialah dagangan yang dibuat sepenuh hati oleh istrinya, untuk keberlangsungan hidup mereka. Di dagangan terakhir itu, yang bersandar pada nampan yang lusuh, aku melihatmu, membeli dagangan terakhir tersebut dengan senyum yang hanya kau yang punya. Lelaki itu terlihat sangat puas dan mulai meninggalkan taman dengan keceriaannya. Dari lelaki paruh baya itu, mataku mulai beralih kepada dirimu. Wanita dengan rambut terurai, panjang dan berkilauan. Kecantikanmu bahkan tak terhalangi oleh buku yang sedang kau pegang sambil kau baca itu. Aku tahu kau tak menunggu seseorang tetapi hanya sedang merehatkan pikiranmu.

            Sore itu awalnya awan beriringan dengan kawan-kawannya. Pergi berjalan menuju barat diiringi matahari yang mematai. Namun, dalam beberapa menit kemudian awan hitam merenggut ketenangan. Entah ketenangan si awan cerah ataupun kita yang sedang mengunjungi taman. Dalam sekejap air tumpah dari langit menuju daratan. Semua berhamburan mencari tempat untuk berteduh. Beruntung terdapat supermarket di dekat sana sehingga aku bisa terhindar dari derasnya hujan. Dan rasanya Tuhan mengindahkan lagi hari yang hujan dengan mendatangkan engkau ke tempat aku berteduh. Wajahmu terlihat makin gemilang ketika ku tatap dari dekat. Menyadari hal itu, kau tersenyum kepadaku. Mungkin hanya di saat itu aku merasa diriku sangat kurang ajar.
            “Buku sastra, ya?” tanyaku membuka pembicaraan.
            “Ya, Hujan Bulan Juni. Karya Sapardi Djoko Damono,” balasmu.
            “Buku puisi? Aku menyukai puisi.”
            “Oh ya? Aku juga. Aku menyukai puisi-puisi Sapardi. Puisinya indah.”
            Kau mengucapkan sambil kegirangan. Itulah yang aku baca dari wajahmu. Dari sikapmu mengungkapkan betapa kau mencintai puisi. Memang puisilah yang membuat kita jatuh cinta. Sama seperti sekarang ini yang secara perlahan aku mengagumimu.
            “Ya, memang. Tapi aku menyukai Chairil Anwar. Si Binatang Jalang,” balasku.
            “Si Fenomenal. Karya-karyanya memang sangat hebat. Tapi sayang ia cepat mati. Padahal ia salah satu Bapak Puisi Indonesia. Hanya menurutku saja.”
           “Begitu pun aku. Dia adalah salah satu orang yang muncul sekali dalam seribu tahun,” ucapku sambil tertawa.
            “Ya, benar.”
            Hujan masih terus memenjarakan kita. Arlojiku menandakan sudah pukul lima sore. Dari arloji mataku langsung kembali menuju wajahmu. Aku sedikit khawatir karena wajahmu mulai menampakkan kegelisahan. Apa mungkin kau lapar? Atau kau sedang ada janji dengan seseorang? Aku semakin tak rela untuk berdoa agar hujan tak pernah berhenti.
            “Mengapa wajahmu terlihat gelisah?” tanyaku.
            “Tak apa,” ucapmu sambil tersenyum.
            Senyuman itu bersaing dengan gelisahmu untuk merebut wajah cantikmu. Matamu seperti bayi yang kelaparan. Berharap mendapat apa yang kau inginkan. Aku juga mulai menatap ke atas langit. Coba-coba memprediksi cuaca yang kalut ini.
           Menunggu hujan berhenti membuatku haus. Aku masuk ke dalam dan meninggalkannya sendirian di luar. Ya, orang-orang sudah menerobos hujan dengan payung mereka masing-masing. Anak-anak dengan ibunya. Begitu pun yang memang sudah mempersiapkannya dari rumah. Aku membeli soft drink. Bagiku itu cocok saat hujan. Ku berikan satu padamu. Engkau menolak tapi aku memaksa karena tak mungkin aku menghabiskan dua kaleng soft drink ini.
            “Terima kasih,” katamu.
            Kau buka dan kau teguk perlahan demi perlahan. Sepertinya kau memang sedang haus. Untung saja aku tak salah beli. Kegelisahanmu pun berkurang. Kali ini sedikit tenang. Begitu pun aku karena merasa nyaman dengan wajahmu yang kembali seperti semula aku melihatnya.
            Hujan mulai reda sedikit demi sedikit. Orang-orang mulai berhamburan lagi di jalanan. Pelangi muncul melalui undangan hujan yang telah pergi. Terpampang cantik di atas langit. Bertengger kuat dengan lengkungannya yang berwarna. Dan lukisan itu bertambah indah ketika kau berdiri di bawahnya, membelakangiku sambil menengok ke arahku.
            “Terima kasih untuk hari ini. Besok aku akan kembali lagi. Aku harap kita bisa bertemu lagi,” ucapnya sambil tersenyum.
            Kau melangkah pergi sambil meninggalkan kesan yang dalam di hatiku. Aku menantikannya. Menanti hari esok di taman itu.
***
            Aku datang pukul tiga sore sambil membawa buku sastra juga. Kali ini aku membawa buku karya Agus Noor. Cerita Buat Para Kekasih. Aku berharap engkau menjadi kekasihku. Itulah doaku pagi ini. Semoga saja Tuhan setuju. Aku pun mulai membuka buku itu. Membaca-baca karya surealis yang katanya hanya untuk dewasa. Menyenangkan! Sambil ketagihan membaca buku itu, aku juga menunggumu. Dan kau datang dengan cara yang berbeda. Mengagetkanku lalu duduk di sampingku. Lagi-lagi senyummu membuatku jatuh hati.
            “Maafkan aku sudah mengagetkanmu,” ucapmu dengan sedikit tertawa.
            “Tak apa. Aku juga sedang menunggumu. Tapi malah keasyikan membaca.”
            Kau merebut buku itu dariku. Melihat-lihat cerita yang ada di dalamnya, membolak-balikkan halamannya satu per satu dan lalu dikembalikan lagi padaku.
            “Agus Noor. Dia juga salah satu sastrawan yang hebat, bukan?” tanyamu.
            “Ya, dia salah satu sastrawan yang sangat hebat. Tetapi aku menyukainya karena tulisannya. Bagiku sangat indah tulisan yang ia buat. Puitis!”
            Kau tersenyum. Mengaburkan pengetahuanku. Kau pun menunjukkan buku yang kemarin. Kau bilang ingin menyelesaikan membaca buku itu. Aku mengiyakan dan tak mau mengganggunya. Aku pun kembali tenggelam ke dalam buku yang kubaca.
            “Apakah di bulan Juni nanti hujan akan benar-benar merindukan bumi?” katamu tiba-tiba.
            “Mungkin saja,” jawabku sekenanya.
            “Akankah kau menjadi hujan?”
            Aku terkejut kau berkata seperti itu. Sepertinya kau memiliki tujuan. Apakah itu? Apakah jawaban dari doaku?
            “Mungkin aku akan menjadi matahari saja. Yang akan dibutuhkan banyak manusia.”
            Kau meletakkan buku itu. Menatap mataku dalam-dalam seakan aku sedang diinterogasi karena melakukan kejahatan. Aku sedikit malu dan mencoba mengalihkan pandanganku. Tapi tatapan masih tajam seperti pisau yang selalu diasah. Aku merasa tertekan.
            Taman mulai ramai dengan orang-orang. Anak-anak kecil dibiarkan bermain oleh ibunya sedangkan para ibu bergosip di sudut taman yang telah disediakan banyak bangku. Penjaja dagangan lebih ramai ketimbang hari kemarin. Mereka dikelilingi oleh anak-anak yang ingin menyantap jajanan tersebut. Sedangkan aku dan kamu masih duduk berdua. Masih dengan buku kita masing-masing. Dan kau masih menatapku.
            “Aku tak ingin kau menjadi matahari,” ucapmu sambil melepaskan pandangan dan mulai membaca buku itu kembali.
            Aku terdiam dan mulai kembali menyelam pada karya-karya Agus Noor. Kencan yang sangat aneh, bukan? Kita berkencan namun tenggelam pada buku yang kita bawa. Aku tak masalah selama aku masih di sini, di sampingmu. Aku juga tak keberatan ketika kau meletakkan kepalamu di pundakku meskipun matamu masih tertuju pada buku itu. Bila saja engkau kekasih yang ku temukan, kan ku jadikan kau Victoria dalam hidupku.
            Tidak seperti kemarin, hari ini cuaca cerah-cerah saja. Sejuk dan tak terlalu panas. Kita sangatlah nyaman dalam pelukan cuaca hari ini hingga tak sadar arlojiku menandakan pukul setengah enam sore. Anak-anak dengan ibunya juga sudah mulai kembali ke rumah. Pedagang yang tadinya bertumpuk kini sudah tak ada. Aku mengajakmu pulang. Kau mengiyakan dan bahkan kau meminta aku mengantarkan kau pulang. Aku setuju dan mulai mengantarkanmu meninggalkan taman.
            Tak seperti yang ku kira, rumahmu ternyata sangat dekat dari taman. Rumah yang sangat megah namun terlihat sederhana. Pagar dengan cat coklat menjadi hal yang kontras dengan warna-warna tembok yang terdapat dalam rumah. Kau yang berjalan di depanku berhenti berjalan dan berbalik ke arahku. Kau merebut bukuku namun memberikan bukumu. Di sela malam yang diintip bulan juga bintang kau mengecup bibirku. Bibir ranummu menyentuhku. Cinta milikmu sepertinya untukku. Kau katakan agar aku membuka halaman yang telah kau tandai di rumah nanti. Aku mengiyakan dan menuju rumah. Berpamitan denganmu dan melanglang pergi.
            Aku buka halaman itu. Puisi milik Sapardi Djoko Damono. Puisi yang kau tandai untukku. Puisi itu ialah:
Aku Ingin
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu


aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


            Doaku di subuh itu terkabul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar