Lelaki paruh baya
itu melangkahkan kakinya dengan lembut mengitari taman menjajakan dagangannya.
Beruntung banyak orang yang sedang berkunjung di taman ini. Langkah kakinya
mengiringi senyumnya yang menggambarkan lelah. Dagangan itu ialah dagangan yang
dibuat sepenuh hati oleh istrinya, untuk keberlangsungan hidup mereka. Di
dagangan terakhir itu, yang bersandar pada nampan yang lusuh, aku melihatmu, membeli
dagangan terakhir tersebut dengan senyum yang hanya kau yang punya. Lelaki itu
terlihat sangat puas dan mulai meninggalkan taman dengan keceriaannya. Dari
lelaki paruh baya itu, mataku mulai beralih kepada dirimu. Wanita dengan rambut
terurai, panjang dan berkilauan. Kecantikanmu bahkan tak terhalangi oleh buku yang
sedang kau pegang sambil kau baca itu. Aku tahu kau tak menunggu seseorang
tetapi hanya sedang merehatkan pikiranmu.
Sore itu awalnya
awan beriringan dengan kawan-kawannya. Pergi berjalan menuju barat diiringi
matahari yang mematai. Namun, dalam beberapa menit kemudian awan hitam
merenggut ketenangan. Entah ketenangan si awan cerah ataupun kita yang sedang
mengunjungi taman. Dalam sekejap air tumpah dari langit menuju daratan. Semua
berhamburan mencari tempat untuk berteduh. Beruntung terdapat supermarket di
dekat sana sehingga aku bisa terhindar dari derasnya hujan. Dan rasanya Tuhan
mengindahkan lagi hari yang hujan dengan mendatangkan engkau ke tempat aku
berteduh. Wajahmu terlihat makin gemilang ketika ku tatap dari dekat. Menyadari
hal itu, kau tersenyum kepadaku. Mungkin hanya di saat itu aku merasa diriku
sangat kurang ajar.
“Buku sastra, ya?”
tanyaku membuka pembicaraan.
“Ya, Hujan Bulan Juni. Karya Sapardi Djoko
Damono,” balasmu.
“Buku puisi? Aku
menyukai puisi.”
“Oh ya? Aku juga.
Aku menyukai puisi-puisi Sapardi. Puisinya indah.”
Kau mengucapkan
sambil kegirangan. Itulah yang aku baca dari wajahmu. Dari sikapmu
mengungkapkan betapa kau mencintai puisi. Memang puisilah yang membuat kita
jatuh cinta. Sama seperti sekarang ini yang secara perlahan aku mengagumimu.
“Ya, memang. Tapi
aku menyukai Chairil Anwar. Si Binatang Jalang,” balasku.
“Si Fenomenal.
Karya-karyanya memang sangat hebat. Tapi sayang ia cepat mati. Padahal ia salah
satu Bapak Puisi Indonesia. Hanya menurutku saja.”
“Begitu pun aku.
Dia adalah salah satu orang yang muncul sekali dalam seribu tahun,” ucapku
sambil tertawa.
“Ya, benar.”
Hujan masih terus
memenjarakan kita. Arlojiku menandakan sudah pukul lima sore. Dari arloji
mataku langsung kembali menuju wajahmu. Aku sedikit khawatir karena wajahmu
mulai menampakkan kegelisahan. Apa mungkin kau lapar? Atau kau sedang ada janji
dengan seseorang? Aku semakin tak rela untuk berdoa agar hujan tak pernah
berhenti.
“Mengapa wajahmu
terlihat gelisah?” tanyaku.
“Tak apa,” ucapmu sambil
tersenyum.
Senyuman itu
bersaing dengan gelisahmu untuk merebut wajah cantikmu. Matamu seperti bayi
yang kelaparan. Berharap mendapat apa yang kau inginkan. Aku juga mulai menatap
ke atas langit. Coba-coba memprediksi cuaca yang kalut ini.
Menunggu hujan
berhenti membuatku haus. Aku masuk ke dalam dan meninggalkannya sendirian di
luar. Ya, orang-orang sudah menerobos hujan dengan payung mereka masing-masing.
Anak-anak dengan ibunya. Begitu pun yang memang sudah mempersiapkannya dari
rumah. Aku membeli soft drink. Bagiku
itu cocok saat hujan. Ku berikan satu padamu. Engkau menolak tapi aku memaksa
karena tak mungkin aku menghabiskan dua kaleng soft drink ini.
“Terima kasih,”
katamu.
Kau buka dan kau
teguk perlahan demi perlahan. Sepertinya kau memang sedang haus. Untung saja
aku tak salah beli. Kegelisahanmu pun berkurang. Kali ini sedikit tenang.
Begitu pun aku karena merasa nyaman dengan wajahmu yang kembali seperti semula
aku melihatnya.
Hujan mulai reda
sedikit demi sedikit. Orang-orang mulai berhamburan lagi di jalanan. Pelangi
muncul melalui undangan hujan yang telah pergi. Terpampang cantik di atas
langit. Bertengger kuat dengan lengkungannya yang berwarna. Dan lukisan itu
bertambah indah ketika kau berdiri di bawahnya, membelakangiku sambil menengok
ke arahku.
“Terima kasih
untuk hari ini. Besok aku akan kembali lagi. Aku harap kita bisa bertemu lagi,”
ucapnya sambil tersenyum.
Kau melangkah
pergi sambil meninggalkan kesan yang dalam di hatiku. Aku menantikannya.
Menanti hari esok di taman itu.
***
Aku datang pukul
tiga sore sambil membawa buku sastra juga. Kali ini aku membawa buku karya Agus
Noor. Cerita Buat Para Kekasih. Aku
berharap engkau menjadi kekasihku. Itulah doaku pagi ini. Semoga saja Tuhan
setuju. Aku pun mulai membuka buku itu. Membaca-baca karya surealis yang
katanya hanya untuk dewasa. Menyenangkan! Sambil ketagihan membaca buku itu,
aku juga menunggumu. Dan kau datang dengan cara yang berbeda. Mengagetkanku
lalu duduk di sampingku. Lagi-lagi senyummu membuatku jatuh hati.
“Maafkan aku sudah
mengagetkanmu,” ucapmu dengan sedikit tertawa.
“Tak apa. Aku juga
sedang menunggumu. Tapi malah keasyikan membaca.”
Kau merebut buku
itu dariku. Melihat-lihat cerita yang ada di dalamnya, membolak-balikkan
halamannya satu per satu dan lalu dikembalikan lagi padaku.
“Agus Noor. Dia
juga salah satu sastrawan yang hebat, bukan?” tanyamu.
“Ya, dia salah
satu sastrawan yang sangat hebat. Tetapi aku menyukainya karena tulisannya.
Bagiku sangat indah tulisan yang ia buat. Puitis!”
Kau tersenyum.
Mengaburkan pengetahuanku. Kau pun menunjukkan buku yang kemarin. Kau bilang
ingin menyelesaikan membaca buku itu. Aku mengiyakan dan tak mau mengganggunya.
Aku pun kembali tenggelam ke dalam buku yang kubaca.
“Apakah di bulan
Juni nanti hujan akan benar-benar merindukan bumi?” katamu tiba-tiba.
“Mungkin saja,”
jawabku sekenanya.
“Akankah kau
menjadi hujan?”
Aku terkejut kau
berkata seperti itu. Sepertinya kau memiliki tujuan. Apakah itu? Apakah jawaban
dari doaku?
“Mungkin aku akan
menjadi matahari saja. Yang akan dibutuhkan banyak manusia.”
Kau meletakkan
buku itu. Menatap mataku dalam-dalam seakan aku sedang diinterogasi karena
melakukan kejahatan. Aku sedikit malu dan mencoba mengalihkan pandanganku. Tapi
tatapan masih tajam seperti pisau yang selalu diasah. Aku merasa tertekan.
Taman mulai ramai
dengan orang-orang. Anak-anak kecil dibiarkan bermain oleh ibunya sedangkan
para ibu bergosip di sudut taman yang telah disediakan banyak bangku. Penjaja
dagangan lebih ramai ketimbang hari kemarin. Mereka dikelilingi oleh anak-anak
yang ingin menyantap jajanan tersebut. Sedangkan aku dan kamu masih duduk
berdua. Masih dengan buku kita masing-masing. Dan kau masih menatapku.
“Aku tak ingin kau
menjadi matahari,” ucapmu sambil melepaskan pandangan dan mulai membaca buku
itu kembali.
Aku terdiam dan
mulai kembali menyelam pada karya-karya Agus Noor. Kencan yang sangat aneh,
bukan? Kita berkencan namun tenggelam pada buku yang kita bawa. Aku tak masalah
selama aku masih di sini, di sampingmu. Aku juga tak keberatan ketika kau
meletakkan kepalamu di pundakku meskipun matamu masih tertuju pada buku itu. Bila
saja engkau kekasih yang ku temukan, kan ku jadikan kau Victoria dalam hidupku.
Tidak seperti
kemarin, hari ini cuaca cerah-cerah saja. Sejuk dan tak terlalu panas. Kita
sangatlah nyaman dalam pelukan cuaca hari ini hingga tak sadar arlojiku
menandakan pukul setengah enam sore. Anak-anak dengan ibunya juga sudah mulai
kembali ke rumah. Pedagang yang tadinya bertumpuk kini sudah tak ada. Aku
mengajakmu pulang. Kau mengiyakan dan bahkan kau meminta aku mengantarkan kau
pulang. Aku setuju dan mulai mengantarkanmu meninggalkan taman.
Tak seperti yang
ku kira, rumahmu ternyata sangat dekat dari taman. Rumah yang sangat megah
namun terlihat sederhana. Pagar dengan cat coklat menjadi hal yang kontras
dengan warna-warna tembok yang terdapat dalam rumah. Kau yang berjalan di
depanku berhenti berjalan dan berbalik ke arahku. Kau merebut bukuku namun
memberikan bukumu. Di sela malam yang diintip bulan juga bintang kau mengecup
bibirku. Bibir ranummu menyentuhku. Cinta milikmu sepertinya untukku. Kau
katakan agar aku membuka halaman yang telah kau tandai di rumah nanti. Aku
mengiyakan dan menuju rumah. Berpamitan denganmu dan melanglang pergi.
Aku buka halaman itu.
Puisi milik Sapardi Djoko Damono. Puisi yang kau tandai untukku. Puisi itu
ialah:
Aku Ingin
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Doaku di subuh itu terkabul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar