Sabtu, 07 Mei 2016

Bunga yang Layu

            Ketika turun dari angkutan umum itu aku mulai meraba-raba lagi masa lalu. Jalan ini adalah jalan yang dulu aku lewati dan sekarang aku akan melewatinya lagi. Jalanan yang hanya ada jalan lurus ini aku tapaki, lalu pada gang pertama di sebelah kanan itu ku masuki dan ku ikuti jalannya yang berkelok-kelok hingga di belokan yang terakhir terdapat satu gang lagi di sebelah kanan. Ke dalam gang itu aku kunjungi lagi jalannya dengan langkah kakiku. Rumah kedua dari mulut gang. Aku hafal betul. Inilah rumah yang dulu aku kunjungi dengan selalu membawa bingkisan. Kali ini untuk sekian lamanya aku mengetuknya kembali pintu berwarna coklat itu. Sungguh merindukan.
            Tak lama pintu terbuka. Ibumu yang menyambut tandanganku. Wajahnya terlihat muram. Tapi muka airnya berubah seakan menyadari hal itu tak akan membuat keadaan menjadi lebih baik. Aku dipersilakan masuk. Digiring menuju kamarmu. Sekali lagi ibumu menatap ke arahku di depan pintu kamarmu seakan meyakinkanku untuk tetap baik-baik saja. Tak lama ia buka pintu itu. Di sana, di atas kasur itu kau berbaring. Lemah. Aku masuk tanpa izin kepadamu lalu pintu ditutup oleh ibumu dan ia melanglang pergi. Ada bangku yang sedari tadi berdiri tegak di samping tempat tidurmu. Aku raih dan aku duduki itu. Menatap wajahmu dalam-dalam yang terlihat sangat lelap. Perlahan kau membuka mata dan menyadari aku sedang berada di dekatmu. Kau menatapku dengan balutan senyum yang kau punya. Aku tak bisa membalas. Bukan karena benci tapi sedang merasa sedih.
            “Akhirnya kau datang,” katamu perlahan.
            “Ya, aku datang,” balasku.
            Aku mulai berani mengusap kepalamu. Kau terlihat senang. Senyummu itu rasanya menggambarkan kerinduan yang sangat mendalam. Padahal dulu kau yang memaksa kita untuk berpisah.
            Aku ingat kejadiannya. Ketika itu, hari ditimpa hujan yang sangat lebat. Kita berada pada keadaan yang suram. Di hubungan kita maupun rumahmu saat itu. Kau mengeluh keras kepadaku. Membentak, memaki, menangis. Kau membenci aku. Sifatku yang sangat egois dan semaunya sendiri. Kau umpat aku dengan terang-terangan. Aku sendiri terdiam karena menurutku memang itu adalah kesalahanku. Kau mengisak tangis. Suasana benar-benar tak baik. Sangat mencekam. Rasanya aku ingin segera pergi dari sana secepatnya. Tak lama kau katakan keinginanmu agar kita berpisah. Aku mengiyakan dengan cara pergi dari sana. Dari rumahmu. Dan setelah tujuh tahun lamanya aku mendapat kabar yang tak baik. Kau menderita Spinocerebellar Ataxia yang katanya penyakit ini menyerang otak kecil sehingga kemungkinan gerak motoriknya menjadi tak berfungsi lagi. Kabar itu cepat sampai di telingaku. Aku khawatir pertama kali mendengarnya tapi aku takut kau menolak jika aku datang mengunjungimu. Jadi, itu alasanku selama ini tetap jauh darimu.
            Lalu tak lama ibumu menghubungiku entah ia tahu dari mana nomor telponku. Ia mengatakan bahwa kau ingin bertemu denganku. Aku sempat bingung apakah lebih baik mengunjungimu atau tidak. Tetapi aku tak bisa menolak ketika ibumu mulai memohon padaku. Dan kini aku di sini, mengusap kepalamu yang terus-menerus terbaring.
            “Maafkan aku merepotkanmu karena memaksamu untuk datang ke sini,”ucapmu.
            “Tidak. Sudah lama sekali aku ingin bertemu denganmu tetapi aku takut tak diterima. Aku masih ingat kau yang memintaku untuk tidak bertemu lagi denganku dulu.”
            “Maafkan aku. Itu adalah kisah yang lama. Akhir-akhir ini aku merindukanmu. Merindukan perhatianmu yang dulu pernah kau berikan. Aku dulu berpikir kau hanya pengekang saja. Tak memberiku kebebasan. Tak memberi ruang sekadar untuk bernafas. Tapi kini aku merindukannya. Aku merindukanmu.”
            ”Tak ada gunanya juga merindukan orang sepertiku. Aku bukanlah sosok yang harus kau cari di saat seperti ini. Aku tak bisa melakukan apa-apa.”
            “Tapi sekarang kau di sini. Kau mengobati rinduku. Setidaknya hilang satu penderitaanku,” ucapmu tersenyum.
            Aku pun sedikit tersenyum mendengar ucapanmu. Rasanya lega melepas rindu yang meluap yang membunuh rasa sabar. Aku menggenggam tanganmu. Tubuhmu sudah terasa dingin. Lalu ibumu masuk ke dalam menyuguhkanku segelas minuman yang dingin lalu kembali meninggalkan kamar. Aku menenggak sedikit. Sejuk. Hilang rasa hausku. Begitupun rasa rinduku.
            “Dulu kau selalu memberikanku puisi-puisimu. Aku ingat sekali. Semuanya sangatlah bagus. Aku menyimpannya di dalam lemari. Bisa kau ambilkan?”
            Lemari yang berdiri di hadapan tempat tidurmu itu ku hampiri. Aku bongkar bagian yang kau katakan sehingga aku menemukan sebuah kertas-kertas yang sudah dijilid. Rapih sekali. Aku kagum kau masih menjaganya.
            “Bacakanlah salah satu puisi untukku. Puisi terakhir yang kau berikan untukku,” pintamu.
            “Benarkah? Aku tak baik dalam membaca puisi.”
            “Ya, tak apa.”

Bunga yang Berpendar Di Halaman Belakang

Di malam-malam yang larut pada hiasan bintang yang nyalanya kerlap-kerlip
Di siang yang selalu dimakan keganasan matahari yang mencecar
Kau masih berdiri tegak.
Warnamu masih tak luntur ketika ditimpa air-air yang bergelontor dari langit
Terus bernyanyi biar jangkrik lebih berisik
Jika saja angin yang bertiup perlahan itu tak sampai padaku,
Aku masih tak mencintaimu
Masih tak mengetahui indahnya bunga yang berpendar
Di tiap harinya akan ku jaga halaman belakang itu

            Kau terlihat menitikkan air mata. Aku mengusapnya. Menghilangkan mendung di mata elokmu. Kau katakan kau rindu pada puisi itu. Pada janjiku yang kau bilang telah kau injak-injak lalu kau buang. Kau meminta untuk aku mendekat kepada wajahmu. Aku lakukan. Bibir ranummu menjamah bibirku. Lalu kau katakan ingin beristirahat. Aku menyelimuti dirimu. Dan lalu melangkah keluar kamarmu.
            “Biarkan aku menjadi bunga yang ada dalam janjimu,” katamu secara berbisik.
            Aku mendengarnya dan menoleh ke belakang. Tapi kau sedang tertidur dengan senyummu. Bergegaslah aku pergi dari kamarmu. Berpamitan dengan ibumu lalu menemui kembali duniaku yang lain.

            Sebulan setelah pertemuan terakhir kita, aku letakkan bunga mawar yang cantik di atas tanah makammu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar