Ketika turun dari angkutan umum itu
aku mulai meraba-raba lagi masa lalu. Jalan ini adalah jalan yang dulu aku
lewati dan sekarang aku akan melewatinya lagi. Jalanan yang hanya ada jalan
lurus ini aku tapaki, lalu pada gang pertama di sebelah kanan itu ku masuki dan
ku ikuti jalannya yang berkelok-kelok hingga di belokan yang terakhir terdapat
satu gang lagi di sebelah kanan. Ke dalam gang itu aku kunjungi lagi jalannya
dengan langkah kakiku. Rumah kedua dari mulut gang. Aku hafal betul. Inilah
rumah yang dulu aku kunjungi dengan selalu membawa bingkisan. Kali ini untuk
sekian lamanya aku mengetuknya kembali pintu berwarna coklat itu. Sungguh
merindukan.
Tak lama pintu terbuka. Ibumu yang
menyambut tandanganku. Wajahnya terlihat muram. Tapi muka airnya berubah seakan
menyadari hal itu tak akan membuat keadaan menjadi lebih baik. Aku dipersilakan
masuk. Digiring menuju kamarmu. Sekali lagi ibumu menatap ke arahku di depan
pintu kamarmu seakan meyakinkanku untuk tetap baik-baik saja. Tak lama ia buka
pintu itu. Di sana, di atas kasur itu kau berbaring. Lemah. Aku masuk tanpa
izin kepadamu lalu pintu ditutup oleh ibumu dan ia melanglang pergi. Ada bangku
yang sedari tadi berdiri tegak di samping tempat tidurmu. Aku raih dan aku
duduki itu. Menatap wajahmu dalam-dalam yang terlihat sangat lelap. Perlahan
kau membuka mata dan menyadari aku sedang berada di dekatmu. Kau menatapku
dengan balutan senyum yang kau punya. Aku tak bisa membalas. Bukan karena benci
tapi sedang merasa sedih.
“Akhirnya kau datang,” katamu
perlahan.
“Ya, aku datang,” balasku.
Aku mulai berani mengusap kepalamu.
Kau terlihat senang. Senyummu itu rasanya menggambarkan kerinduan yang sangat
mendalam. Padahal dulu kau yang memaksa kita untuk berpisah.
Aku ingat kejadiannya. Ketika itu,
hari ditimpa hujan yang sangat lebat. Kita berada pada keadaan yang suram. Di
hubungan kita maupun rumahmu saat itu. Kau mengeluh keras kepadaku. Membentak,
memaki, menangis. Kau membenci aku. Sifatku yang sangat egois dan semaunya
sendiri. Kau umpat aku dengan terang-terangan. Aku sendiri terdiam karena
menurutku memang itu adalah kesalahanku. Kau mengisak tangis. Suasana
benar-benar tak baik. Sangat mencekam. Rasanya aku ingin segera pergi dari sana
secepatnya. Tak lama kau katakan keinginanmu agar kita berpisah. Aku mengiyakan
dengan cara pergi dari sana. Dari rumahmu. Dan setelah tujuh tahun lamanya aku
mendapat kabar yang tak baik. Kau menderita Spinocerebellar
Ataxia yang katanya penyakit ini menyerang otak kecil sehingga kemungkinan
gerak motoriknya menjadi tak berfungsi lagi. Kabar itu cepat sampai di
telingaku. Aku khawatir pertama kali mendengarnya tapi aku takut kau menolak
jika aku datang mengunjungimu. Jadi, itu alasanku selama ini tetap jauh darimu.
Lalu tak lama ibumu menghubungiku
entah ia tahu dari mana nomor telponku. Ia mengatakan bahwa kau ingin bertemu
denganku. Aku sempat bingung apakah lebih baik mengunjungimu atau tidak. Tetapi
aku tak bisa menolak ketika ibumu mulai memohon padaku. Dan kini aku di sini,
mengusap kepalamu yang terus-menerus terbaring.
“Maafkan aku merepotkanmu karena
memaksamu untuk datang ke sini,”ucapmu.
“Tidak. Sudah lama sekali aku ingin
bertemu denganmu tetapi aku takut tak diterima. Aku masih ingat kau yang
memintaku untuk tidak bertemu lagi denganku dulu.”
“Maafkan aku. Itu adalah kisah yang
lama. Akhir-akhir ini aku merindukanmu. Merindukan perhatianmu yang dulu pernah
kau berikan. Aku dulu berpikir kau hanya pengekang saja. Tak memberiku
kebebasan. Tak memberi ruang sekadar untuk bernafas. Tapi kini aku
merindukannya. Aku merindukanmu.”
”Tak ada gunanya juga merindukan
orang sepertiku. Aku bukanlah sosok yang harus kau cari di saat seperti ini.
Aku tak bisa melakukan apa-apa.”
“Tapi sekarang kau di sini. Kau
mengobati rinduku. Setidaknya hilang satu penderitaanku,” ucapmu tersenyum.
Aku pun sedikit tersenyum mendengar
ucapanmu. Rasanya lega melepas rindu yang meluap yang membunuh rasa sabar. Aku
menggenggam tanganmu. Tubuhmu sudah terasa dingin. Lalu ibumu masuk ke dalam
menyuguhkanku segelas minuman yang dingin lalu kembali meninggalkan kamar. Aku
menenggak sedikit. Sejuk. Hilang rasa hausku. Begitupun rasa rinduku.
“Dulu kau selalu memberikanku
puisi-puisimu. Aku ingat sekali. Semuanya sangatlah bagus. Aku menyimpannya di
dalam lemari. Bisa kau ambilkan?”
Lemari yang berdiri di hadapan
tempat tidurmu itu ku hampiri. Aku bongkar bagian yang kau katakan sehingga aku
menemukan sebuah kertas-kertas yang sudah dijilid. Rapih sekali. Aku kagum kau
masih menjaganya.
“Bacakanlah salah satu puisi
untukku. Puisi terakhir yang kau berikan untukku,” pintamu.
“Benarkah? Aku tak baik dalam
membaca puisi.”
“Ya, tak apa.”
Bunga
yang Berpendar Di Halaman Belakang
Di
malam-malam yang larut pada hiasan bintang yang nyalanya kerlap-kerlip
Di
siang yang selalu dimakan keganasan matahari yang mencecar
Kau
masih berdiri tegak.
Warnamu
masih tak luntur ketika ditimpa air-air yang bergelontor dari langit
Terus
bernyanyi biar jangkrik lebih berisik
Jika
saja angin yang bertiup perlahan itu tak sampai padaku,
Aku
masih tak mencintaimu
Masih
tak mengetahui indahnya bunga yang berpendar
Di
tiap harinya akan ku jaga halaman belakang itu
Kau terlihat menitikkan air mata.
Aku mengusapnya. Menghilangkan mendung di mata elokmu. Kau katakan kau rindu
pada puisi itu. Pada janjiku yang kau bilang telah kau injak-injak lalu kau
buang. Kau meminta untuk aku mendekat kepada wajahmu. Aku lakukan. Bibir
ranummu menjamah bibirku. Lalu kau katakan ingin beristirahat. Aku menyelimuti
dirimu. Dan lalu melangkah keluar kamarmu.
“Biarkan aku menjadi bunga yang ada
dalam janjimu,” katamu secara berbisik.
Aku mendengarnya dan menoleh ke
belakang. Tapi kau sedang tertidur dengan senyummu. Bergegaslah aku pergi dari
kamarmu. Berpamitan dengan ibumu lalu menemui kembali duniaku yang lain.
Sebulan setelah pertemuan terakhir
kita, aku letakkan bunga mawar yang cantik di atas tanah makammu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar