Setelah pusing
memikirkan tumpukan tugas, saya merasa butuh hiburan ringan. Lelah sekali
rasanya mengerjakan tugas. Meskipun begitu, tugas masih saya kerjakan. Dan
beruntung saya memilih tugas yang terbilang menghibur. Tak saya duga naskah
“Awal dan Mira” sangat ringan dibaca. Seperti novel saja. Saya bahkan merasa
seperti sedang membaca novel ketimbang membaca naskah drama. Tapi ketika saya
lihat, naskah ini memang sengaja diubah oleh penerbit pertamanya, yaitu majalah
Indonesia yang ternyata lebih mengedepankan
karya prosa. Untuk itulah naskah ini dibuat seperti cerita pendek.
Kisahnya memang
menarik. Potret kehidupan setelah perang yang tentunya berwarna kemiskinan. Di
awal cerita saja sudah menggambarkan betapa miskinnya masyarakat kala itu.
Menurut saya bagian uniknya adalah naskah ini diterbitikan pertama kali pada
tahun 1949 namun ceritanya sendiri berlatar belakang tahun 1951. Pandangan yang
luar biasa bagi Utuy Tatang Sontani meski hanya terpaut dua tahun.
Mira adalah wanita yang berjualan di kedai
kopi bersama ibunya. Ia digambarkan memiliki wajah yang cantik dan kepribadian
yang tegas. Banyak laki-laki yang terpincut kepadanya. Salah satunya ialah
Awal. Awal sendiri adalah lelaki yang hidup pada kalangan atas. Tapi dalam
cerita, hal itu tak berguna. Awal hanya lelaki biasa yang sakit-sakitan.
Cerita utamanya
memang tentang percintaan. Tapi tentu saja banyak sindiran-sindiran di dalam
cerita. Mira seakan menggambarkan tentang sikap wanita pada masa itu. Ingin
adanya kesetaraan gender seperti yang diucapkan radio. Tapi hal itu dibantah
oleh Awal.
Kedai kopi memang sering menjadi tempat
orang-orang berkicau. Seperti halnya Warkop DKI yang digawangi oleh Dono,
Kasino, dan Indro. Mereka sengaja menamakan Warkop karena pada tempat itu
mereka berdiskusi dengan orang-orang. Mereka menganggap tempat itu adalah
tempat yang pas untuk melakukan pertemuan diskusi.
Hal itu juga
melatar belakangi cerita tersebut. Di dalam cerita orang-orang bergumam ini
itu. Tapi bagi Mira sendiri itu hanyalah omong kosong karena mereka hanya
sekedar ngedumel saja. Mira menolak
omongan tersebut. Dia seakan tak mau percaya pada omongan-omongan yang
diucapkan pelanggannya. Bahkan seorang kakek yang datang untuk minum kopi saja
ia katakan badut.
Awal di dalam
cerita selalu merasa menjadi orang kalangan atas. Meskipun begitu ia selalu
dihajar oleh orang-orang kalangan bawah. Mereka mengatakan bahwa sekarang sudah
bukan zamannya masyarakat terpisah oleh strata kehidupan. Seperti yang
dikatakan tokoh Si Baju Biru dan Si Baju Putih. Begitu pun dengan Wartawan.
Singgungan yang
sangat terasa pada cerita ini saya rasa adalah masalah publikasi berita dari
media kepada masyarakat. Dikatakan apa yang diliput hanyalah orang-orang
petinggi saja. Tak adanya celah bagi rakyat miskin berada pada sebuah cerita.
Hal lainnya adalah
bahwa perang tak pernah membawa apa pun. Di akhir Mira akhirnya terlihat bahwa
kedua kakinya buntung. Dan itu disebabkan karena perang. Dengan buntung kedua
kakinya ia tidak mendapat apa pun kecuali penderitaan. Awal juga sepertinya
tidak percaya akan hal itu. Gambaran yang sangat baik.
Kehidupan setelah
perang memang tak langsung membaik. Rakyat-rakyat menjadi miskin sedangkan
kalangan atas masih tetap makmur karena tak melakukan apa-apa. Rakyat miskin
yang membela tanah air namun masih tak dapat apa-apa. Banyak juga orang-orang
yang berkata omong kosong tanpa ada solusinya. Naskah “Awal dan Mira” memang
sangat menggambarkan keadaan pasca perang. Utuy Tatang Sontani sangat baik
dalam menulisnya. Menutup kritiknya dengan kisah percintaan yang sangat dalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar