Selasa, 09 Februari 2016

Kritik Sosial Dalam Kisah Percintaan “Awal dan Mira”

            Setelah pusing memikirkan tumpukan tugas, saya merasa butuh hiburan ringan. Lelah sekali rasanya mengerjakan tugas. Meskipun begitu, tugas masih saya kerjakan. Dan beruntung saya memilih tugas yang terbilang menghibur. Tak saya duga naskah “Awal dan Mira” sangat ringan dibaca. Seperti novel saja. Saya bahkan merasa seperti sedang membaca novel ketimbang membaca naskah drama. Tapi ketika saya lihat, naskah ini memang sengaja diubah oleh penerbit pertamanya, yaitu majalah Indonesia yang ternyata lebih mengedepankan karya prosa. Untuk itulah naskah ini dibuat seperti cerita pendek.

            Kisahnya memang menarik. Potret kehidupan setelah perang yang tentunya berwarna kemiskinan. Di awal cerita saja sudah menggambarkan betapa miskinnya masyarakat kala itu. Menurut saya bagian uniknya adalah naskah ini diterbitikan pertama kali pada tahun 1949 namun ceritanya sendiri berlatar belakang tahun 1951. Pandangan yang luar biasa bagi Utuy Tatang Sontani meski hanya terpaut dua tahun.
             Mira adalah wanita yang berjualan di kedai kopi bersama ibunya. Ia digambarkan memiliki wajah yang cantik dan kepribadian yang tegas. Banyak laki-laki yang terpincut kepadanya. Salah satunya ialah Awal. Awal sendiri adalah lelaki yang hidup pada kalangan atas. Tapi dalam cerita, hal itu tak berguna. Awal hanya lelaki biasa yang sakit-sakitan.
            Cerita utamanya memang tentang percintaan. Tapi tentu saja banyak sindiran-sindiran di dalam cerita. Mira seakan menggambarkan tentang sikap wanita pada masa itu. Ingin adanya kesetaraan gender seperti yang diucapkan radio. Tapi hal itu dibantah oleh Awal.
             Kedai kopi memang sering menjadi tempat orang-orang berkicau. Seperti halnya Warkop DKI yang digawangi oleh Dono, Kasino, dan Indro. Mereka sengaja menamakan Warkop karena pada tempat itu mereka berdiskusi dengan orang-orang. Mereka menganggap tempat itu adalah tempat yang pas untuk melakukan pertemuan diskusi.
            Hal itu juga melatar belakangi cerita tersebut. Di dalam cerita orang-orang bergumam ini itu. Tapi bagi Mira sendiri itu hanyalah omong kosong karena mereka hanya sekedar ngedumel saja. Mira menolak omongan tersebut. Dia seakan tak mau percaya pada omongan-omongan yang diucapkan pelanggannya. Bahkan seorang kakek yang datang untuk minum kopi saja ia katakan badut.
            Awal di dalam cerita selalu merasa menjadi orang kalangan atas. Meskipun begitu ia selalu dihajar oleh orang-orang kalangan bawah. Mereka mengatakan bahwa sekarang sudah bukan zamannya masyarakat terpisah oleh strata kehidupan. Seperti yang dikatakan tokoh Si Baju Biru dan Si Baju Putih. Begitu pun dengan Wartawan.
            Singgungan yang sangat terasa pada cerita ini saya rasa adalah masalah publikasi berita dari media kepada masyarakat. Dikatakan apa yang diliput hanyalah orang-orang petinggi saja. Tak adanya celah bagi rakyat miskin berada pada sebuah cerita.
            Hal lainnya adalah bahwa perang tak pernah membawa apa pun. Di akhir Mira akhirnya terlihat bahwa kedua kakinya buntung. Dan itu disebabkan karena perang. Dengan buntung kedua kakinya ia tidak mendapat apa pun kecuali penderitaan. Awal juga sepertinya tidak percaya akan hal itu. Gambaran yang sangat baik.

            Kehidupan setelah perang memang tak langsung membaik. Rakyat-rakyat menjadi miskin sedangkan kalangan atas masih tetap makmur karena tak melakukan apa-apa. Rakyat miskin yang membela tanah air namun masih tak dapat apa-apa. Banyak juga orang-orang yang berkata omong kosong tanpa ada solusinya. Naskah “Awal dan Mira” memang sangat menggambarkan keadaan pasca perang. Utuy Tatang Sontani sangat baik dalam menulisnya. Menutup kritiknya dengan kisah percintaan yang sangat dalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar