Ada
saja perkataan tiap orang tentang cinta. Bagi mereka pengagum cinta, bercinta
adalah Tuhan dalam hidupnya. Atau mungkin tak setinggi itu mereka mengaguminya.
Toh, tetap saja mereka mengatakan hiduplah dengan cinta agar hidupmu damai.
Mendengar pernyataan macam itu membuat otakku sedikit terganggu. Jika dengan
cinta saja bisa damai, mengapa beberapa orang masih membenci? Bukankah semua
orang menginginkan kedamaian? Itulah anggapanku terhadap mereka yang mengaku
cinta adalah segalanya. Sebuah pernyataan yang konyol.
Tapi
tidak dengan Kila. Ia masih berpegang teguh bahwa dengan cinta semua akan
baik-baik saja. Untuk penjelasan, Kila adalah sahabatku yang selalu mengajakku
berdebat setiap harinya. Apapun itu selalu kami perdebatkan. Menyedihkan?
Tidak, ini menyenangkan! Sama seperti sekarang ini, kami sedang memperdebatkan
tentang hal yang mampu membuat segalanya menjadi damai. Dan opininya adalah
cinta sebagai senjata utama dalam kedamaian.
“Apa
kamu tidak sadar? Kamu lahir dari sebuah percintaan bukan? Memang aneh tapi hal
ini sangat mendasar dan menjelaskan bahwa kita semua terlahir dari cinta,”
katanya menjelaskan.
“Ya,
memang kita lahir dari sebuah percintaan orang tua kita. Tetapi hal itu tidak
menunjukkan kedamaian berasal dari cinta. Aku masih tidak setuju dengan hal
ini,” sanggahku.
Kila
sedikit kesal dengan pernyataanku. Namun terlihat jelas ia sedang mencoba untuk
berpikir jernih. Ia mencari-cari alasan yang tepat untuk mendukung opininya.
Tak perlu waktu lama dia langsung mengibarkan kembali pendapatnya.
“Bagaimana
jika kau berada dalam keluargamu yang benar-benar sangat mencintaimu? Bukankah
itu terasa sangat damai? Semua orang menginginkan hal itu. Bagi mereka yang
memiliki keluarga ataupun tidak. Cinta dalam sebuah keluarga sangatlah hangat,
bukan?” ucapnya.
Aku
sedikit tersentak dengan pernyataannya yang terasa sangat mendukung opininya.
Aku terdiam sejenak dan Kila masih terus memperhatikanku yang mencoba
menyanggah pernyataannya. Sungguh sulit berbicara tentang cinta dengan orang
yang mengenal baik arti kata cinta.
“Untuk
opinimu, menurutku masih tidak cukup kuat. Mungkin itu membawa kedamaian bagimu
tapi tidak untuk seluruh dunia. Lagipula dengan adanya cinta maka ada pula yang
dinamakan kebencian. Cinta bukanlah alat perdamaian yang baik karena tak setiap
orang membutuhkan cinta,” sanggahku yang menurutku sangat cerdas.
Lagi-lagi
wajah Kila terlihat masam. Ia cemberut dan masih tak terima dengan apa yang aku
ucap. Sepertinya ia kehabisan ide dan tetap diam.
Desiran
angin pada siang itu menandakan akan turunnya hujan lebat. Hal itu didukung
dengan hiasan langit yang semakin muram ditambah aroma akan datangnya hujan. Tetapi
dari kemarin hal ini terus terjadi dan hujan masih belum turun dari awal bulan.
Alasan angin bertiup kencang bukan hanya sudah masuk musim penghujan tetapi
kami memang sedang bersantai di ruang terbuka dimana sekelilingnya dihiasi
pohon-pohon yang sangat rindang. Di tengah-tengahnya terdapat lapangan sepak
bola yang kadang membuatku iri ingin bermain sepak bola. Dan di seberang kami
yang terpisahkan oleh lapangan sepak bola itu terdapat sebuah masjid yang cukup
besar. Ke arah masjid itulah mata Kila menatap. Namun terpaan angin yang
menyikut wajahnya seakan membuatnya sadar dan memberi ide untuk melanjutkan
perdebatan.
“Sanggahanmu
hebat sekali. Lalu bagaimana pendapatmu mengenai kedamaian dunia? Apa hal yang
mampu membuat dunia bahagia?” tanyanya setelah kembali dari lamunannya.
“Di
zaman seperti ini, dunia tak membutuhkan hal-hal yang sentimentil seperti
cinta. Mereka membutuhkan sesuatu yang lebih menjanjikan ketimbang hanya
cinta.”
“Apakah
itu?” tanyanya penasaran.
“Uang!
Uang dan kekuasaan adalah sumber kebahagiaan yang ada pada masa kini. Kekuasaan
tidaklah terlalu penting tapi uang adalah hal yang sangat vital saat ini,”
ucapku dengan sangat percaya diri.
Ia
sedikit tersentak dan agak tidak percaya dengan apa yang aku ucap.
“Bagaimana mungkin cinta yang
diciptakan oleh Tuhan kalah dengan uang yang jelas-jelas merupakan ciptaan manusia?
Sebuah kedamaian saja diciptakan oleh Tuhan bukan dengan hal yang seperti itu,”
sanggahnya dengan sangat tegas dan sedikit berapi-api. Jelas-jelas ia sangat
tidak menerima apa yang aku ucap.
“Apa kau tidak sadar? Di
zaman seperti ini uang berdiri sejajar dengan Tuhan. Orang-orang sudah mulai
bersikap hedonisme dan mereka terus menggerus tenaga hanya untuk uang. Bukankah
jelas uang merupakan hal yang dapat membuat kedamaian di dunia?” jelasku.
Kila kembali diam. Memang
wajar jika wanita tak mau kalah. Apalagi untuk seorang Kila yang selalu
berpegang teguh pada prinsipnya. Ia adalah wanita yang kuat. Sejujurnya aku
kagum pada sifatnya itu. Menyenangkan sekali bisa mengenalnya dan juga dekat
dengan dirinya.
Orang-orang lalu lalang
dengan sepeda motor atau kendaraan pribadi lainnya. Pandanganku jarang menerka
mereka yang berjalan kaki. Atau memang sudah jarang pejalan kaki dijalanan.
Yang ada hanya kemacetan sana-sini. Sebuah keadaan dimana aku tak mau hidup di
dalamnya. Tapi aku sadar aku harus menerima keadaan bahwa aku memang hidup pada
zaman seperti ini.
“Aku masih tak bisa menerima
pernyataanmu. Menurutku masih ada yang lain tapi aku masih tetap berpegang
teguh pada opiniku yaitu cinta yang mampu menciptakan kedamaian,” tegasnya.
Aku memandang wajahnya.
Tatapannya tajam seperti biasanya dan itu tak mengganggu sama sekali. Malah hal
tersebut memicu pemikiranku untuk meyakinkannya bahwa uanglah yang menjadi
sumber kedamaian dunia.
“Lalu bagaimana jika kita
mengkombinasikan antara uang dengan cinta? Bukankah menjadi lebih menarik?”
saranku untuk meredakan sedikit suasana.
“Tidak bisa! Aku tak setuju
dengan hal itu. Uang terlalu melambangkan duniawi dan aku tidak setuju jika
uang harus disatukan dengan cinta yang mana itu merupakan hal yang murni dari Tuhan.
Lagi pula mengapa kau sangat terpaku dengan uang? Mengapa tidak pada hal lain?”
katanya lagi-lagi membantah.
“Jika kau menilik kehidupan
ini lebih dalam, maka kau akan menemukan hal-hal yang sangat buruk. Banyak
sekali orang-orang mencari kedamaian untuk dirinya sendiri, untuk kepuasan
dirinya sendiri. Beberapa dari mereka sampai harus memakai cara kotor seperti
merampok dan korupsi. Bahkan tak banyak pemerintahan kita berkorupsi sehingga
masyarakat sulit untuk percaya lagi kepada pemerintah. Andai saja tiap-tiap
orang memiliki uang yang banyak tentu tak ada hal-hal kotor semacam itu bukan?
Maka aku berkesimpulan jika saja orang memiliki uang maka ia akan merasa tenang
dan damai dalam hidupnya karena ia merasa terjamin dengan segala kebutuhannya,”
ucapku menjelaskan dengan cukup panjang.
Kila lagi-lagi terdiam.
Terlihat dari raut wajahnya kalau ia sedang berpikir. Sepertinya ia menemukan
sebuah sanggahan terhadap opiniku. Bukan merasa panik, aku malah merasa sangat
tidak sabar dengan sanggahannya yang menarik tersebut.
“Aku menemukan kelemahan
dalam opinimu,” ucapnya.
“Kelemahannya ialah uang
adalah benda yang terbatas. Untuk itulah orang bersikap hedonisme karena mereka
sadar bahwa uang tidak mungkin akan mengguyur kepala mereka begitu saja. Mereka
harus bekerja keras untuk mendapatkan uang itu dan tanpa sadar malah
menghabiskan waktu yang dimiliki untuk menikmati kedamaiannya. Mereka mungkin
akan merasa damai ketika bersantai di sofa lembut pada hari tuanya, tapi aku
yakin mereka akan merasa sangat menyesal karena telah membuang masa mudanya.
Maka dari itu, bagiku uang bukanlah sumber kedamaian. Uang hanyalah alat yang
membutakan mereka,” ucapnya dengan sangat jelas.
Aku terkesima dengan apa yang
diucapkannya. Ternyata opiniku dibantai habis-habisan olehnya. Aku merasa
kagum.
“Dan kelemahan lainnya,” ia
melanjutkan. “Uang akan membuat kriminalitas karena keterbatasannya. Seperti
yang kau katakan tadi, banyak orang rela melakukan cara kotor hanya untuk
mendapatkan uang. Itu membuktikan dengan adanya uang, orang menjadi tidak
tenang karena takut uang miliknya dicuri,” lanjutnya.
Aku terdiam seperti patung
pada tempat kami duduk. Pemikiran yang sangat menarik dan tidak terikat. Pada
akhirnya aku mengaku kalah.
“Yap! Aku menerima
pendapatmu. Pada akhirnya tak ada hal yang mampu membentuk kedamaian yang
abadi. Adanya cinta mungkin mampu membentuk hal seperti itu namun dengan adanya
kebencian yang pastinya harus ada, tentunya kedamaian tak akan tercipta. Begitu
pun dengan uang. Dengan keterbatasannya tentu saja orang-orang tak akan bisa
tenang dalam hidupnya. Tapi dengan begitu kita sadar untuk setidaknya memiliki
cinta untuk melawan kebencian dan tidak bernafsu dalam menggerus uang agar
tidak terbutakan oleh Tuhan yang baru itu,” tutupku.
“Ya, aku setuju. Kesimpulan
yang sangat bagus!” katanya yang sepertinya sepakat dengan pendapatku juga.
Hujan
turun di sekitaran pukul empat sore. Aku dan Kila terburu-buru untuk berlari ke
masjid untuk berteduh dan melaksanakan ibadah. Mungkin aku akan belajar untuk
tidak terlalu hedonisme.
Blog
post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana:
Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan
Nulisbuku.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar