Sabtu, 21 November 2015

Beropini

            Ada saja perkataan tiap orang tentang cinta. Bagi mereka pengagum cinta, bercinta adalah Tuhan dalam hidupnya. Atau mungkin tak setinggi itu mereka mengaguminya. Toh, tetap saja mereka mengatakan hiduplah dengan cinta agar hidupmu damai. Mendengar pernyataan macam itu membuat otakku sedikit terganggu. Jika dengan cinta saja bisa damai, mengapa beberapa orang masih membenci? Bukankah semua orang menginginkan kedamaian? Itulah anggapanku terhadap mereka yang mengaku cinta adalah segalanya. Sebuah pernyataan yang konyol.


            Tapi tidak dengan Kila. Ia masih berpegang teguh bahwa dengan cinta semua akan baik-baik saja. Untuk penjelasan, Kila adalah sahabatku yang selalu mengajakku berdebat setiap harinya. Apapun itu selalu kami perdebatkan. Menyedihkan? Tidak, ini menyenangkan! Sama seperti sekarang ini, kami sedang memperdebatkan tentang hal yang mampu membuat segalanya menjadi damai. Dan opininya adalah cinta sebagai senjata utama dalam kedamaian.
            “Apa kamu tidak sadar? Kamu lahir dari sebuah percintaan bukan? Memang aneh tapi hal ini sangat mendasar dan menjelaskan bahwa kita semua terlahir dari cinta,” katanya menjelaskan.
            “Ya, memang kita lahir dari sebuah percintaan orang tua kita. Tetapi hal itu tidak menunjukkan kedamaian berasal dari cinta. Aku masih tidak setuju dengan hal ini,” sanggahku.
            Kila sedikit kesal dengan pernyataanku. Namun terlihat jelas ia sedang mencoba untuk berpikir jernih. Ia mencari-cari alasan yang tepat untuk mendukung opininya. Tak perlu waktu lama dia langsung mengibarkan kembali pendapatnya.
            “Bagaimana jika kau berada dalam keluargamu yang benar-benar sangat mencintaimu? Bukankah itu terasa sangat damai? Semua orang menginginkan hal itu. Bagi mereka yang memiliki keluarga ataupun tidak. Cinta dalam sebuah keluarga sangatlah hangat, bukan?” ucapnya.
            Aku sedikit tersentak dengan pernyataannya yang terasa sangat mendukung opininya. Aku terdiam sejenak dan Kila masih terus memperhatikanku yang mencoba menyanggah pernyataannya. Sungguh sulit berbicara tentang cinta dengan orang yang mengenal baik arti kata cinta.
            “Untuk opinimu, menurutku masih tidak cukup kuat. Mungkin itu membawa kedamaian bagimu tapi tidak untuk seluruh dunia. Lagipula dengan adanya cinta maka ada pula yang dinamakan kebencian. Cinta bukanlah alat perdamaian yang baik karena tak setiap orang membutuhkan cinta,” sanggahku yang menurutku sangat cerdas.
            Lagi-lagi wajah Kila terlihat masam. Ia cemberut dan masih tak terima dengan apa yang aku ucap. Sepertinya ia kehabisan ide dan tetap diam.
            Desiran angin pada siang itu menandakan akan turunnya hujan lebat. Hal itu didukung dengan hiasan langit yang semakin muram ditambah aroma akan datangnya hujan. Tetapi dari kemarin hal ini terus terjadi dan hujan masih belum turun dari awal bulan. Alasan angin bertiup kencang bukan hanya sudah masuk musim penghujan tetapi kami memang sedang bersantai di ruang terbuka dimana sekelilingnya dihiasi pohon-pohon yang sangat rindang. Di tengah-tengahnya terdapat lapangan sepak bola yang kadang membuatku iri ingin bermain sepak bola. Dan di seberang kami yang terpisahkan oleh lapangan sepak bola itu terdapat sebuah masjid yang cukup besar. Ke arah masjid itulah mata Kila menatap. Namun terpaan angin yang menyikut wajahnya seakan membuatnya sadar dan memberi ide untuk melanjutkan perdebatan.
            “Sanggahanmu hebat sekali. Lalu bagaimana pendapatmu mengenai kedamaian dunia? Apa hal yang mampu membuat dunia bahagia?” tanyanya setelah kembali dari lamunannya.
            “Di zaman seperti ini, dunia tak membutuhkan hal-hal yang sentimentil seperti cinta. Mereka membutuhkan sesuatu yang lebih menjanjikan ketimbang hanya cinta.”
            “Apakah itu?” tanyanya penasaran.
            “Uang! Uang dan kekuasaan adalah sumber kebahagiaan yang ada pada masa kini. Kekuasaan tidaklah terlalu penting tapi uang adalah hal yang sangat vital saat ini,” ucapku dengan sangat percaya diri.
            Ia sedikit tersentak dan agak tidak percaya dengan apa yang aku ucap.
“Bagaimana mungkin cinta yang diciptakan oleh Tuhan kalah dengan uang yang jelas-jelas merupakan ciptaan manusia? Sebuah kedamaian saja diciptakan oleh Tuhan bukan dengan hal yang seperti itu,” sanggahnya dengan sangat tegas dan sedikit berapi-api. Jelas-jelas ia sangat tidak menerima apa yang aku ucap.
“Apa kau tidak sadar? Di zaman seperti ini uang berdiri sejajar dengan Tuhan. Orang-orang sudah mulai bersikap hedonisme dan mereka terus menggerus tenaga hanya untuk uang. Bukankah jelas uang merupakan hal yang dapat membuat kedamaian di dunia?” jelasku.
Kila kembali diam. Memang wajar jika wanita tak mau kalah. Apalagi untuk seorang Kila yang selalu berpegang teguh pada prinsipnya. Ia adalah wanita yang kuat. Sejujurnya aku kagum pada sifatnya itu. Menyenangkan sekali bisa mengenalnya dan juga dekat dengan dirinya.
Orang-orang lalu lalang dengan sepeda motor atau kendaraan pribadi lainnya. Pandanganku jarang menerka mereka yang berjalan kaki. Atau memang sudah jarang pejalan kaki dijalanan. Yang ada hanya kemacetan sana-sini. Sebuah keadaan dimana aku tak mau hidup di dalamnya. Tapi aku sadar aku harus menerima keadaan bahwa aku memang hidup pada zaman seperti ini.
“Aku masih tak bisa menerima pernyataanmu. Menurutku masih ada yang lain tapi aku masih tetap berpegang teguh pada opiniku yaitu cinta yang mampu menciptakan kedamaian,” tegasnya.
Aku memandang wajahnya. Tatapannya tajam seperti biasanya dan itu tak mengganggu sama sekali. Malah hal tersebut memicu pemikiranku untuk meyakinkannya bahwa uanglah yang menjadi sumber kedamaian dunia.
“Lalu bagaimana jika kita mengkombinasikan antara uang dengan cinta? Bukankah menjadi lebih menarik?” saranku untuk meredakan sedikit suasana.
“Tidak bisa! Aku tak setuju dengan hal itu. Uang terlalu melambangkan duniawi dan aku tidak setuju jika uang harus disatukan dengan cinta yang mana itu merupakan hal yang murni dari Tuhan. Lagi pula mengapa kau sangat terpaku dengan uang? Mengapa tidak pada hal lain?” katanya lagi-lagi membantah.
“Jika kau menilik kehidupan ini lebih dalam, maka kau akan menemukan hal-hal yang sangat buruk. Banyak sekali orang-orang mencari kedamaian untuk dirinya sendiri, untuk kepuasan dirinya sendiri. Beberapa dari mereka sampai harus memakai cara kotor seperti merampok dan korupsi. Bahkan tak banyak pemerintahan kita berkorupsi sehingga masyarakat sulit untuk percaya lagi kepada pemerintah. Andai saja tiap-tiap orang memiliki uang yang banyak tentu tak ada hal-hal kotor semacam itu bukan? Maka aku berkesimpulan jika saja orang memiliki uang maka ia akan merasa tenang dan damai dalam hidupnya karena ia merasa terjamin dengan segala kebutuhannya,” ucapku menjelaskan dengan cukup panjang.
Kila lagi-lagi terdiam. Terlihat dari raut wajahnya kalau ia sedang berpikir. Sepertinya ia menemukan sebuah sanggahan terhadap opiniku. Bukan merasa panik, aku malah merasa sangat tidak sabar dengan sanggahannya yang menarik tersebut.
“Aku menemukan kelemahan dalam opinimu,” ucapnya.
“Kelemahannya ialah uang adalah benda yang terbatas. Untuk itulah orang bersikap hedonisme karena mereka sadar bahwa uang tidak mungkin akan mengguyur kepala mereka begitu saja. Mereka harus bekerja keras untuk mendapatkan uang itu dan tanpa sadar malah menghabiskan waktu yang dimiliki untuk menikmati kedamaiannya. Mereka mungkin akan merasa damai ketika bersantai di sofa lembut pada hari tuanya, tapi aku yakin mereka akan merasa sangat menyesal karena telah membuang masa mudanya. Maka dari itu, bagiku uang bukanlah sumber kedamaian. Uang hanyalah alat yang membutakan mereka,” ucapnya dengan sangat jelas.
Aku terkesima dengan apa yang diucapkannya. Ternyata opiniku dibantai habis-habisan olehnya. Aku merasa kagum.
“Dan kelemahan lainnya,” ia melanjutkan. “Uang akan membuat kriminalitas karena keterbatasannya. Seperti yang kau katakan tadi, banyak orang rela melakukan cara kotor hanya untuk mendapatkan uang. Itu membuktikan dengan adanya uang, orang menjadi tidak tenang karena takut uang miliknya dicuri,” lanjutnya.
Aku terdiam seperti patung pada tempat kami duduk. Pemikiran yang sangat menarik dan tidak terikat. Pada akhirnya aku mengaku kalah.
“Yap! Aku menerima pendapatmu. Pada akhirnya tak ada hal yang mampu membentuk kedamaian yang abadi. Adanya cinta mungkin mampu membentuk hal seperti itu namun dengan adanya kebencian yang pastinya harus ada, tentunya kedamaian tak akan tercipta. Begitu pun dengan uang. Dengan keterbatasannya tentu saja orang-orang tak akan bisa tenang dalam hidupnya. Tapi dengan begitu kita sadar untuk setidaknya memiliki cinta untuk melawan kebencian dan tidak bernafsu dalam menggerus uang agar tidak terbutakan oleh Tuhan yang baru itu,” tutupku.
“Ya, aku setuju. Kesimpulan yang sangat bagus!” katanya yang sepertinya sepakat dengan pendapatku juga.
            Hujan turun di sekitaran pukul empat sore. Aku dan Kila terburu-buru untuk berlari ke masjid untuk berteduh dan melaksanakan ibadah. Mungkin aku akan belajar untuk tidak terlalu hedonisme.






Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar