"Semua orang setidaknya harus
memiliki sepicis kenangan agar dirinya bisa bersedih karena menyadari bahwa
kenangan adalah prasasti yang merekam suka luka di masa lalu," ucap
Lavinia suatu hari.
Lavinia selalu meyakini bahwa
manusia yang memiliki banyak hal untuk dikenang tak akan pernah menyesal di
hari tuanya. Bahkan di usia tiga puluhan, ia terus membuat kenangan-kenangan.
Lavinia memang belum menikah. Ia
masih mau bebas melakukan banyak hal. Baginya, mengelilingi dunia lebih
berharga daripada mempunyai suami dan anak. Karena menurutnya, bila ia sudah
memiliki keduanya, ia tak akan bisa lagi membentuk kenangan yang indah-indah.
Ia akan terpenjara dalam sel yang bernama keluarga dan duduk terdiam dalam gubuk
kecil yang dibeli di sebuah perkomplekan orang kaya. Dunia lebih besar dari
rumah. Dunia adalah rumah bagi dirinya. Jadi ia selalu menyukai tidur di mana
saja. Jakarta, Surabaya, Aceh, Turin, London. Ia mengklaim telah tidur di
tempat-tempat yang ia sebutkan.
Meskipun belum mau berkeluarga,
Lavinia tetap mempersilakan lelaki mencuri hatinya, menjadi kekasihnya, karena
baginya hidup tanpa cinta sama seperti tak memiliki apa-apa. Dan di suatu sore
itu, di kedai kopi yang tak terlalu ramai, ia bertemu dengan Aeneas. Aeneas
menghampiri Lavinia yang terduduk dengan sedikit kesedihannya. Ia baru saja
ditinggalkan Achel. Padahal secara perlahan dia sudah benar-benar mencintainya.
Tapi ia memergoki bahwa Achel sudah memiliki kekasih yang lain. Dan dalam sendunya
itu Aeneas mengajaknya berbicara.
"Bagaimana caranya menikmati
kopi yang dicampuri kesedihan?" ucap Aeneas.
"Maaf, Anda siapa?" tanya
Lavinia.
"Ah, saya hanya orang yang tak
bisa melihat wanita menangis. Boleh saya menemani hingga air mata Anda
hilang?"
"Maafkan saya. Saya memang
membutuhkan seseorang yang mendengarkan saya."
"Tak apa. Saya selalu mengerti
perasaan orang-orang yang bersedih. Ah, perkenalkan. Nama saya Aeneas."
"Nama saya Lavinia."
"Lavinia? Nama yang bagus.
Nama yang tercantum di dongengnya Shakespeare. Saya suka Shakespeare."
"Begitukah? Saya tak pernah
membaca Shakespeare."
"Tak apa. Suatu saat akan
kukisahkan kepadamu."
Suasana semakin hangat dan Lavinia
sudah mampu melupakan mantan kekasihnya. Sore perlahan-lahan menabur kegelapan
di luar sana. Orang-orang yang keluar-masuk kedai mulai cukup ramai dan
sesekali melirik kepada Lavinia. Ia tak peduli. Selama ada Aeneas yang
mendengarkannya ia tak akan memerhatikan sekelilingnya.
Malam-malam Lavinia berjalan menuju
ke rumah. Sekitaran pukul 10 dan jalanan gang mulai sepi. Hanya ada segelintir
anak muda sedang duduk-duduk di depan pertokoan sambil merokok dan menenggak
anggur secara bergiliran.
"Mau ke mana si neng? Udah
malem sini Abang anterin," cuit salah satu dari mereka.
Lavinia merasa terancam dan
mempercepat jalannya. Tiba-tiba ia melihat ke belakang, ke arah anak muda tadi,
Aeneas muncul dan menasihati mereka. Lavinia menjadi sedikit tenang. Aeneas
kembali menghampirinya.
"Kamu tidak apa-apa,
Vin?"
"Iya, aku baik-baik saja.
Terima kasih ya," balas Lavinia.
"Aku antar saja ya sampai
rumah," Aeneas menawarkan.
Lavinia hanya mengangguk dan mulai
berjalan lagi menuju rumah. Di belakang, anak-anak muda masih menenggak anggur
yang dicampur Kukubima sambil menertawakan hal-hal konyol lainnya.
Lavinia telah sampai di rumah.
Aeneas pamit dan meluncur pergi ke kejauhan. Malam makin gelap dan Lavinia
bersiap untuk mandi, tidur, dan menjalankan rutinitasnya untuk esok. Dan tak
lupa ia menulis apa yang terjadi tadi siang di buku hariannya demi menyimpan
kenangan manisnya bersama Aeneas.
"Ta, kemarin aku bertemu
laki-laki. Baik. Tampan pula. Wajahnya hampir mirip Leonardo Di Caprio. Bedanya
ia lebih kurus. Dan rambutnya hitam. Pokoknya dia seperti doppelganger-nya
Leonardo," ucap Lavinia kepada Difta, teman kantornya.
"Oh ya? Bagaimana kalian bisa
bertemu?"
"Kemarin, di kedai kopi.
Pertemuan yang romantis. Dia membaca kesedihanku."
"Wah jarang ada laki-laki
seperti itu."
"Nanti aku perkenalkan padamu.
Sekarang lanjutkan dulu kerjaanmu," ucap Lavinia.
Jam makan siang, Lavinia sendirian
di kantin. Difta masih banyak pekerjaan dan menolak istirahat bersamanya.
Lavinia mencari tempat duduk paling ujung. Agar tak terlalu ramai dan merasa
tenang. Ia letakkan nampan makanannya di atas meja, menyeruput teh manisnya,
dan terkejut dengan kemunculan Aeneas.
"Sedang apa kamu di
sini?" tanya Lavinia.
"Hanya numpang lewat. Aku
sedang menjadi kurir dan kebetulan sedang jam istirahat. Aku lapar sekali jadi
aku memutuskan makan di kantin. Dan kebetulan aku melihat kamu. Jadi aku
hampiri saja," balas Aeneas.
"Sini duduk. Kebetulan juga
aku sendiri. Temanku masih ada pekerjaan. Loh, kamu tidak memesan
makanan?"
"Nanti saja. Karena melihat
kamu aku jadi langsung menghampirimu."
"Aku ambilkan ya. Kamu mau
makan apa?"
"Ah, tidak usah. Nanti aku
ambil sendiri. Habiskan saja makananmu. Biar nanti tidak telat."
"Hmmm, baiklah," Lavinia
menyantap makanannya.
Sambil makan, Lavinia berbincang
mengenai banyak hal dengan Aeneas. Perihal pekerjaannya, rumahnya, keluarganya,
hobi, dan lainnya. Aeneas memiliki hobi yang sama dengan Lavinia, travelling,
dan mulai mengajaknya untuk naik gunung.
"Aku akan ke Semeru. Mau
ikut?" tawar Aeneas.
"Tapi aku harus kerja,"
"Izin sakit saja. Cuma
beberapa hari."
"Nanti kupikirkan ya,"
jawab Lavinia.
"Kalau begitu aku cari makan
dulu ya," ucap Aeneas sambil beranjak.
Tak lama Difta datang dan
menghampiri Lavinia. Ia melihat Lavinia yang sedang tersenyum-senyum.
"Vin, kamu ngapain? Kok
senyum-senyum begitu," tanya Difta.
"Kamu telat, Dif! Tadi ada
Aeneas ke sini," jawab Lavinia dengan antusias.
"Aeneas siapa?"
"Itu loh, laki-laki yang tadi
aku ceritain. Tadi dia katanya mau cari makan. Tapi kok tidak kelihatan
ya."
"Mungkin cari makan di luar.
Di sini kan mahal-mahal. Ya sudah biarin saja. Aku mau makan dulu. Kalau dia
ada di sini pasti dia bakal ke sini lagi," kata Difta.
Lavinia masih mencari-cari Aeneas
dari tempat duduknya. Ia melihatnya di dekat pintu keluar. Baru ingin
memanggilnya, Aeneas pergi dan tak terlihat lagi.
Perihal Aeneas yang tetiba menghilang
di kantin tadi siang terus membayang dalam kepala Lavinia. Di dalam kamarnya ia
berseteru dengan berbagai pendapat dalam kepalanya. Ke mana Aeneas siang itu?
Ia terus berpikir dan berpikir hingga akhirnya Aeneas menjumpanya di dalam
kamar. Lavinia terkejut sejadi-jadinya.
"Bagaimana kamu ada di
sini?" tanya Lavinia.
"Cogitu ergo sum.
Mungkin seperti itu," balas Aeneas.
Aeneas merangkul lengan Lavinia
yang tengah terduduk di pinggir ranjang biasa ia tidur. Lavinia menurut dan
menempelkan punggungnya pada dinding yang dingin. Mata Lavinia menjamu tatapan
Aeneas yang terus bertandang kepada dirinya. Napas mereka kian menyatu. Dua
tangan saling merangkul pinggang yang lainnya. Rambut panjang Lavinia yang
terurai mulai bergeser menjauhi bibirnya yang ranum. Aeneas mencuri kecupan
dari Lavinia. Bagi Lavinia, ini adalah kenangan yang terpatri abadi dalam
kepalanya, dalam hatinya, dalam harapannya.
"Besok, kamu tak perlu
bekerja. Di sini saja. Aku akan menemanimu," ucap Aeneas.
"Aku tidak bisa. Aku punya
kehidupan yang harus aku jalani."
"Kamu punya aku, yang lebih
penting dan berharga dari kehidupan. Yang akan menyelamatkanmu dari kesepian.
Yang akan menemanimu dengan kesetiaan. Yang akan menyetubuhimu dengan
pikiran."
Lavinia terenyuh. Matanya perlahan
terpejam. Aeneas menjamah tengkuk yang putih mulus bak mutiara paling cantik di
lautan. Dinding berubah jadi hutan yang gemerlap. Suara binatang malam berdesir
di telinga Lavinia. Semeru datang kepada mereka yang menimba cinta. Plafon
membuka pandangan langit semerbak bintang. Lavinia terjatuh ke dalam mimpi yang
paling jauh.
Lavinia menjelma kenangan yang
paling berharga dalam mimpinya. Ia menjadi sepicis kenangan bersama Aeneas.
***
Di usia dua puluh tujuh tahun,
Lavinia akan menikah. Dengan Achel kekasihnya yang benar-benar ia cintai. Yang
bahkan jantungnya rela ia berikan. Yang empedunya bahkan rela ia telan demi
selalu bersama Achel. Dan harapan-harapan hanya tetap menjadi harapan meski
sudah hampir menjadi kenyataan. Achel tak datang dalam hari yang ditentukan. Ia
pergi jauh bersama wanita lain pilihannya, Difta. Dan tak lupa ia mengirim salam dalam
secarik surat.
"Aku hanyalah kenanganmu.
Untuk itu aku tak bisa duduk bersama di sampingmu. Hiduplah terus bersama
kenangan-kenangan yang paling pahit sekalipun.
Meski hanya sepicis, terus ingat aku."
Sejak itu pula Lavinia selalu
menyendiri di kamarnya bersama khayalan-khayalan miliknya yang paling berharga
yang menjelma seribu kenangan.
"Aku berpikir maka aku ada"
BalasHapus