Kamis, 14 Juni 2018

Seribu Kenangan


"Semua orang setidaknya harus memiliki sepicis kenangan agar dirinya bisa bersedih karena menyadari bahwa kenangan adalah prasasti yang merekam suka luka di masa lalu," ucap Lavinia suatu hari.

Lavinia selalu meyakini bahwa manusia yang memiliki banyak hal untuk dikenang tak akan pernah menyesal di hari tuanya. Bahkan di usia tiga puluhan, ia terus membuat kenangan-kenangan.
Lavinia memang belum menikah. Ia masih mau bebas melakukan banyak hal. Baginya, mengelilingi dunia lebih berharga daripada mempunyai suami dan anak. Karena menurutnya, bila ia sudah memiliki keduanya, ia tak akan bisa lagi membentuk kenangan yang indah-indah. Ia akan terpenjara dalam sel yang bernama keluarga dan duduk terdiam dalam gubuk kecil yang dibeli di sebuah perkomplekan orang kaya. Dunia lebih besar dari rumah. Dunia adalah rumah bagi dirinya. Jadi ia selalu menyukai tidur di mana saja. Jakarta, Surabaya, Aceh, Turin, London. Ia mengklaim telah tidur di tempat-tempat yang ia sebutkan.
Meskipun belum mau berkeluarga, Lavinia tetap mempersilakan lelaki mencuri hatinya, menjadi kekasihnya, karena baginya hidup tanpa cinta sama seperti tak memiliki apa-apa. Dan di suatu sore itu, di kedai kopi yang tak terlalu ramai, ia bertemu dengan Aeneas. Aeneas menghampiri Lavinia yang terduduk dengan sedikit kesedihannya. Ia baru saja ditinggalkan Achel. Padahal secara perlahan dia sudah benar-benar mencintainya. Tapi ia memergoki bahwa Achel sudah memiliki kekasih yang lain. Dan dalam sendunya itu Aeneas mengajaknya berbicara.
"Bagaimana caranya menikmati kopi yang dicampuri kesedihan?" ucap Aeneas.
"Maaf, Anda siapa?" tanya Lavinia.
"Ah, saya hanya orang yang tak bisa melihat wanita menangis. Boleh saya menemani hingga air mata Anda hilang?"
"Maafkan saya. Saya memang membutuhkan seseorang yang mendengarkan saya."
"Tak apa. Saya selalu mengerti perasaan orang-orang yang bersedih. Ah, perkenalkan. Nama saya Aeneas."
"Nama saya Lavinia."
"Lavinia? Nama yang bagus. Nama yang tercantum di dongengnya Shakespeare. Saya suka Shakespeare."
"Begitukah? Saya tak pernah membaca Shakespeare."
"Tak apa. Suatu saat akan kukisahkan kepadamu."
Suasana semakin hangat dan Lavinia sudah mampu melupakan mantan kekasihnya. Sore perlahan-lahan menabur kegelapan di luar sana. Orang-orang yang keluar-masuk kedai mulai cukup ramai dan sesekali melirik kepada Lavinia. Ia tak peduli. Selama ada Aeneas yang mendengarkannya ia tak akan memerhatikan sekelilingnya.
Malam-malam Lavinia berjalan menuju ke rumah. Sekitaran pukul 10 dan jalanan gang mulai sepi. Hanya ada segelintir anak muda sedang duduk-duduk di depan pertokoan sambil merokok dan menenggak anggur secara bergiliran.
"Mau ke mana si neng? Udah malem sini Abang anterin," cuit salah satu dari mereka.
Lavinia merasa terancam dan mempercepat jalannya. Tiba-tiba ia melihat ke belakang, ke arah anak muda tadi, Aeneas muncul dan menasihati mereka. Lavinia menjadi sedikit tenang. Aeneas kembali menghampirinya.
"Kamu tidak apa-apa, Vin?"
"Iya, aku baik-baik saja. Terima kasih ya," balas Lavinia.
"Aku antar saja ya sampai rumah," Aeneas menawarkan.
Lavinia hanya mengangguk dan mulai berjalan lagi menuju rumah. Di belakang, anak-anak muda masih menenggak anggur yang dicampur Kukubima sambil menertawakan hal-hal konyol lainnya.
Lavinia telah sampai di rumah. Aeneas pamit dan meluncur pergi ke kejauhan. Malam makin gelap dan Lavinia bersiap untuk mandi, tidur, dan menjalankan rutinitasnya untuk esok. Dan tak lupa ia menulis apa yang terjadi tadi siang di buku hariannya demi menyimpan kenangan manisnya bersama Aeneas.
"Ta, kemarin aku bertemu laki-laki. Baik. Tampan pula. Wajahnya hampir mirip Leonardo Di Caprio. Bedanya ia lebih kurus. Dan rambutnya hitam. Pokoknya dia seperti doppelganger-nya Leonardo," ucap Lavinia kepada Difta, teman kantornya.
"Oh ya? Bagaimana kalian bisa bertemu?"
"Kemarin, di kedai kopi. Pertemuan yang romantis. Dia membaca kesedihanku."
"Wah jarang ada laki-laki seperti itu."
"Nanti aku perkenalkan padamu. Sekarang lanjutkan dulu kerjaanmu," ucap Lavinia.
Jam makan siang, Lavinia sendirian di kantin. Difta masih banyak pekerjaan dan menolak istirahat bersamanya. Lavinia mencari tempat duduk paling ujung. Agar tak terlalu ramai dan merasa tenang. Ia letakkan nampan makanannya di atas meja, menyeruput teh manisnya, dan terkejut dengan kemunculan Aeneas.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Lavinia.
"Hanya numpang lewat. Aku sedang menjadi kurir dan kebetulan sedang jam istirahat. Aku lapar sekali jadi aku memutuskan makan di kantin. Dan kebetulan aku melihat kamu. Jadi aku hampiri saja," balas Aeneas.
"Sini duduk. Kebetulan juga aku sendiri. Temanku masih ada pekerjaan. Loh, kamu tidak memesan makanan?"
"Nanti saja. Karena melihat kamu aku jadi langsung menghampirimu."
"Aku ambilkan ya. Kamu mau makan apa?"
"Ah, tidak usah. Nanti aku ambil sendiri. Habiskan saja makananmu. Biar nanti tidak telat."
"Hmmm, baiklah," Lavinia menyantap makanannya.
Sambil makan, Lavinia berbincang mengenai banyak hal dengan Aeneas. Perihal pekerjaannya, rumahnya, keluarganya, hobi, dan lainnya. Aeneas memiliki hobi yang sama dengan Lavinia, travelling, dan mulai mengajaknya untuk naik gunung.
"Aku akan ke Semeru. Mau ikut?" tawar Aeneas.
"Tapi aku harus kerja,"
"Izin sakit saja. Cuma beberapa hari."
"Nanti kupikirkan ya," jawab Lavinia.
"Kalau begitu aku cari makan dulu ya," ucap Aeneas sambil beranjak.
Tak lama Difta datang dan menghampiri Lavinia. Ia melihat Lavinia yang sedang tersenyum-senyum.
"Vin, kamu ngapain? Kok senyum-senyum begitu," tanya Difta.
"Kamu telat, Dif! Tadi ada Aeneas ke sini," jawab Lavinia dengan antusias.
"Aeneas siapa?"
"Itu loh, laki-laki yang tadi aku ceritain. Tadi dia katanya mau cari makan. Tapi kok tidak kelihatan ya."
"Mungkin cari makan di luar. Di sini kan mahal-mahal. Ya sudah biarin saja. Aku mau makan dulu. Kalau dia ada di sini pasti dia bakal ke sini lagi," kata Difta.
Lavinia masih mencari-cari Aeneas dari tempat duduknya. Ia melihatnya di dekat pintu keluar. Baru ingin memanggilnya, Aeneas pergi dan tak terlihat lagi.
Perihal Aeneas yang tetiba menghilang di kantin tadi siang terus membayang dalam kepala Lavinia. Di dalam kamarnya ia berseteru dengan berbagai pendapat dalam kepalanya. Ke mana Aeneas siang itu? Ia terus berpikir dan berpikir hingga akhirnya Aeneas menjumpanya di dalam kamar. Lavinia terkejut sejadi-jadinya.
"Bagaimana kamu ada di sini?" tanya Lavinia.
"Cogitu ergo sum. Mungkin seperti itu," balas Aeneas.
Aeneas merangkul lengan Lavinia yang tengah terduduk di pinggir ranjang biasa ia tidur. Lavinia menurut dan menempelkan punggungnya pada dinding yang dingin. Mata Lavinia menjamu tatapan Aeneas yang terus bertandang kepada dirinya. Napas mereka kian menyatu. Dua tangan saling merangkul pinggang yang lainnya. Rambut panjang Lavinia yang terurai mulai bergeser menjauhi bibirnya yang ranum. Aeneas mencuri kecupan dari Lavinia. Bagi Lavinia, ini adalah kenangan yang terpatri abadi dalam kepalanya, dalam hatinya, dalam harapannya.
"Besok, kamu tak perlu bekerja. Di sini saja. Aku akan menemanimu," ucap Aeneas.
"Aku tidak bisa. Aku punya kehidupan yang harus aku jalani."
"Kamu punya aku, yang lebih penting dan berharga dari kehidupan. Yang akan menyelamatkanmu dari kesepian. Yang akan menemanimu dengan kesetiaan. Yang akan menyetubuhimu dengan pikiran."
Lavinia terenyuh. Matanya perlahan terpejam. Aeneas menjamah tengkuk yang putih mulus bak mutiara paling cantik di lautan. Dinding berubah jadi hutan yang gemerlap. Suara binatang malam berdesir di telinga Lavinia. Semeru datang kepada mereka yang menimba cinta. Plafon membuka pandangan langit semerbak bintang. Lavinia terjatuh ke dalam mimpi yang paling jauh.
Lavinia menjelma kenangan yang paling berharga dalam mimpinya. Ia menjadi sepicis kenangan bersama Aeneas.
***
Di usia dua puluh tujuh tahun, Lavinia akan menikah. Dengan Achel kekasihnya yang benar-benar ia cintai. Yang bahkan jantungnya rela ia berikan. Yang empedunya bahkan rela ia telan demi selalu bersama Achel. Dan harapan-harapan hanya tetap menjadi harapan meski sudah hampir menjadi kenyataan. Achel tak datang dalam hari yang ditentukan. Ia pergi jauh bersama wanita lain pilihannya, Difta. Dan tak lupa ia mengirim salam dalam secarik surat.
"Aku hanyalah kenanganmu. Untuk itu aku tak bisa duduk bersama di sampingmu. Hiduplah terus bersama kenangan-kenangan yang paling pahit sekalipun.  Meski hanya sepicis, terus ingat aku."
Sejak itu pula Lavinia selalu menyendiri di kamarnya bersama khayalan-khayalan miliknya yang paling berharga yang menjelma seribu kenangan.

1 komentar: