Kamis, 13 April 2017

Kita

Tidak seperti malam biasanya, Nat. Malam ini jadi lebih kelabu hanya karena hujan yang terus mengguyur. Sudah tidurkah kau sekarang?
Rambut panjang hitam yang kaukuncir hingga tengkukmu yang cantik itu terlihat sedikit menggodaku. Sekarang adalah pelajaran olahraga dan aku selalu suka pelajaran ini. Selain karena aku bisa bermain futsal, aku pun bisa menatap tengkukmu yang indah. Memang aku tampak mesum dengan sikap seperti itu, tapi hal itu yang selalu membuatku tergugah kepada wanita. Itu baru tengkukmu yang kubicarakan, belum wajahmu yang memang cantik--dan tercantik di sekolah. Matamu yang bulat dengan hidung yang hampir mancung sempurna dilengkapi dengan bibir mungilmu. Bibir itu akan bertambah cantik ketika kau tersenyum, misalnya saja seperti saat ini.
Kau sedang sibuknya tertawa bersama teman-temanmu. Pelajaran olahraga yang hanya berlari memutar lapangan saja sudah mulai diberikan kebebasan oleh pak guru. Kau duduk di sana, di dekat ruang perpustakaan di lantai satu, sambil bercanda-canda dengan temanmu. Aku di sini, di kejauhan, hanya sekali-kali saja melirikmu. Ah! Aku selalu suka melihatmu. Tak lama aku pergi ke tengah lapangan untuk bermain futsal bersama teman kelas lainnya.
Aku selalu berpikir kau akan menyukai lelaki yang bermain futsal. Tentunya bagi para pria teknik menggiring bola hingga menggocek lawan adalah sesuatu yang luar biasa. Namun aku sadar pula bahwa di mata wanita sepertimu itu tak berarti apa-apa. Nyatanya matamu tak pernah menatap ke arahku yang berlarian di tengah lapangan. Malahan kaupergi dari tempat dudukmu menuju kelas bersama teman-temanmu itu. Aku sedikit kecewa.
Dari lantai dua gedung sekolah matamu menatap ke bawah, ke arah lapangan, tapi hanya sedikit saja seperti mencuri kesempatan karena di sana kau masih berbincang dengan teman-temanmu itu di muka kelas. Aku melihatnya meski hanya sekejap. Mata itu melihat ke arahku. Ketika aku mulai lelah, aku memutuskan untuk selesai dan bergegas ke kantin. Sebelum pergi aku melihat ke atas lagi dan mata kita kembali bertemu.
Bel pelajaran masih belum berbunyi tapi aku sudah menuju kelas untuk mengganti baju olahraga dengan seragam sekolah. Kau sendiri sudah rapih dengan seragammu ketika aku masuk ke kelas untuk mengambil seragam sekolahku. Aku membawa seragam itu dari kelas menuju toilet. Di depan tangga aku bertemu Rena.
Ia menyapaku, wanita dari kelas lain, kami memang saling kenal. Rena adalah teman sekelasku di kelas X. Kini ia menjadi OSIS dan ketua kelas. Ia selalu terlihat sibuk keluar-masuk ruang guru untuk ditugasi. Kali ini ia ditugasi memberikan tugas untuk kelasnya karena guru yang akan masuk kelas di jam selanjutnya tidak bisa hadir. Kami berbincang, tidak terlalu lama dan serius, tapi aku merasa kamu menatapku dari depan pintu kelas. Aku dan Rena berpisah. Ia ke kelasnya dan aku menuju toilet.
Kamu mengenal dia, bukan? Rena memang cantik, meski bagiku kau lebih cantik, tapi dia adalah salah satu wanita yang populer di sekolah. Matanya yang terlihat sipit dan rambutnya yang dihiasi poni membuat dirinya seperti orang Jepang sungguhan. Sifatnya yang selalu ceria dan terbuka bagi siapa saja membuat dirinya dekat dengan banyak orang. Kamu juga mengetahuinya bahwa kami selalu jalan bersama ketika pulang sekolah karena rumah kita searah, bukan? Jadi aku rasa tatapanmu yang tadi tak perlu kauberi.
Salah satu hal konyol dari kebijakan sekolah adalah toilet pria disatukan dengan toilet wanita. Jadi hanya ada satu toilet tiap lantai. Ketika kaumasuk toilet saat aku berada di dalam tak akan ada yang curiga. Aku duduk bersandar di luar bilik toilet dan kamu menatapku. Tak lama kemudian kamu masuk ke bilik itu dan menguncinya dari dalam.
"Kamu marah?" ucapku bertanya padamu.
"Ya, tentu saja," balasmu dengan sedikit ambek.
Aku sedikit tertawa. Lalu hening muncul di antara kita berdua. Tak lama ada seorang siswa datang dan langsung menerobos ke dalam bilik. Kamu diam, aku diam. Orang itu selesai dengan urusannya dan melangkah keluar.
"Kalau begitu nanti pulang saja bersamaku," ajakku.
"Tidak mau."
"Lalu aku harus bagaimana?"
"Belikan aku coklat."
"Baiklah."
Kaukeluar dari bilik tanpa melihatku yang masih duduk. Aku tersenyum. Rasanya kita masih terlihat sangat lucu. Wajar saja karena baru tiga hari kita berpacaran. Tak lama kaupergi datang anak-anak kelas yang baru selesai futsal. Mereka mengganti baju mereka sama sepertiku. Bel pun berbunyi.
***
Sudah pukul tujuh malam ketika aku sampai di depan pagar rumahmu. Aku memanggilmu untuk keluar tapi tak ada balasan dari dalam rumah. Ketika aku ingin mengabarimu lewat pesan singkat, kamu keluar dengan handuk di atas kepalamu. Rupanya kau baru saja selesai mandi.
"Ibu bilang ada yang memanggilku. Aku baru saja selesai mandi," ucapnya, "masuk saja ke dalam. Aku sudah bilang pada Ibu."
Aku mengucap salam dan dibalas oleh ibumu. Rupanya ia sedang santai di ruang keluarga sambil menonton televisi. Ia mengatakan untuk makan malam bersama setelah Mba Ratna, pembantu keluargamu, selesai memasak. Aku mengiyakan dengan sopan. Lalu kamu mengajakku ke atas, ke kamarmu, setelah kau melepas handuk itu dari kepalamu.
"Kamu membawakannya?"
"Ya. Ini. Tapi jangan di makan sekarang karena kita akan makan. Simpanlah untuk besok," kataku sambil memberi coklat itu.
Kau tersenyum manja dan meletakkan coklat itu di atas meja belajarmu. Tak lama kemudian ibumu memanggil untuk mengajak kita makan. Sebelum bergegas keluar kau mencium pipiku.
Kau menyediakan nasi di dalam piring untuk aku santap. Aku diberi kebebasan memilih lauk yang tersedia di atas meja makan. Ibumu tak terganggu dengan kehadiranku. Malah ia terus mempersilakan aku menyantap semua masakan.
"Ibu tak masalah kalian berpacaran. Bagaimanapun itu adalah hak kalian sebagai remaja. Tapi Ibu mau kalian menjaga pelajaran kalian. Jangan sampai ada nilai yang turun," ucap ibumu.
"Tentu saja, Bu. Kami tak pernah melupakan pelajaran. Malahan kami sering belajar bersama, saling mengajari satu sama lain. Karena hal tersebut nilai kami tak pernah turun," balasku.
"Bagus. Itulah yang harus kalian lakukan."
Aku tersenyum sambil mengangguk. Kau sendiri tidak terlihat terlalu peduli. Kau hanya menyantap habis makanmu.
Setelah makan malam yang menyenangkan itu aku pulang. Sekali lagi kamu mencium pipiku di depan pagar lalu melambai. Aku beranjak menuju rumah.
***
Ini adalah hari wisuda. Kita berdandan untuk pelepasan yang diadakan sekolah di gedung yang megah. Dengan setelan jas milik ayah dan sepatu pantopel hitam yang sudah disemir aku berjalan menuju dirimu. Kau sendiri terlihat sangat cantik dengan kebaya merah muda yang melilit tubuhmu. Riasan bak artis terkenal jatuh di wajahmu yang sungguh menawan. Kita berdua masuk ke dalam gedung.
Tepat hari ini pula setahun aku menyatakan cinta padamu. Sungguh menyenangkan, bukan? Tak hanya kita berdua yang berbahagia tetapi juga mereka yang sibuk berbincang dengan teman-temannya. Kau merangkul tanganku sambil mengajak aku duduk di bangku yang telah disediakan.
Acara dimulai dengan do'a yang diucapkan guru agama. Semua berjalan dengan baik. Pesan dan kesan. Hingga akhirnya piagam-piagam yang diberikan. Sambil menunggu giliran tiba kamu berbincang dengan temanmu dan aku bercengkrama dengan kawan-kawanku.
Tiba-tiba Rena menghampiriku. Ia memberi selamat kepadaku dan aku membalasnya. Meskipun satu sekolah tapi aku mulai jarang melihatnya dan tidak pernah pulang bersama lagi. Hal itu terjadi ketika aku mulai berpacaran denganmu dan ketika ia mulai sibuk dengan kegiatan OSIS-nya. Kami berbincang mengenai masa depan, tentang apa yang akan aku kerjakan ketika aku lulus. Obrolan itu menjadi hangat dan aku tahu kamu semakin tidak suka. Aku menarik diri dengan beralasan ingin ke toilet. Kamu pun menjadi lega.
Namamu dipanggil di atas podium untuk mendapat seserahan seperti murid lainnya. Aku memotretmu. Wajahmu benar-benar cantik, secantik Irene Adler. Kau meninggalkan podium dan menghampiriku untuk melihat potret dirimu yang cantik itu. Kau tersenyum dan membiarkan aku ke atas podium karena memang namaku sudah dipanggil. Kau memotretku. Aku hanya tersenyum melihatnya.
Acara telah selesai. Kau dan aku pulang bersama. Namun sebelumnya kita akan berfoto bersama terlebih dahulu dengan kawan-kawan semua.
***
Sudah masuk waktu liburan dan waktu sibuk mengurus kuliah. Kau tak henti-hentinya mengumpulkan berkas yang diminta. Berbeda denganmu, aku akan mencari kerja. Kita telah menyepakati hal itu. Kamu harus terus belajar dan menjadi orang hebat.
Aku sendiri sibuk mengurus persyaratan untuk melamar. Bahkan aku juga sibuk sekali mencari-cari lowongan pekerjaan. Di koran, di majalah, hingga bertanya kepada teman. Sangat sulit bagi lulusan SMA untuk mencari kerja. Kami selalu dipandang sebelah mata. Untuk itu aku mengirim lamaran ke banyak perusahaan.
Kamu bilang kamu diterima di perguruan tinggi negeri. Tak hanya itu, kau bahkan masuk ke jurusan yang kauinginkan, jurusan sastra. Aku senang mendengarnya. Kau mungkin akan menulis banyak puisi yang romantis, atau cerita-cerita kepahlawanan yang menarik. Aku menunggunya, karyamu itu. Kita merayakannya di kafe yang biasa kita kunjungi pada malam hari.
Malam sudah sangat larut saat kita selesai merayakannya. Aku tak mau kamu pulang sendirian. Aku akan mengantarmu. Kita berjalan kaki dari kafe karena jarak yang ditempuh tak terlalu jauh. Aku melihat ke atas, ke arah langit yang gelap, tak ada bintang di atas sana. Angin juga merayap lebih cepat menjalar tubuh. Kuberikan jaketku kepadamu agar angin tidak membuatmu menderita. Kaurangkul tanganku dan menyandarkan kepalamu pula sambil berkata, "Kuharap bahagia ini selalu ada."
Kita sampai di depan rumahmu. Lampu terlihat sudah dimatikan semua. Aku berpamitan padamu dan kau mengecup bibirku.
***
Aku membaca semua karya-karyamu. Puisi yang kaubuatkan untukku, cerita pendek tentang anak-anak, hingga haiku sederhana, aku sudah baca semuanya. Kau sangat senang sekali dan aku juga sangat suka semua tulisanmu meskipun masih tak sebaik Eka Kurniawan, Ayu Utami, atau bahkan Djenar Maesa Ayu. Semua tulisan itu kau buat di blog pribadimu. Kadang ada juga intermezzo tentang diriku. Aku akan membalasnya suatu hari nanti.
Sudah sekitar tiga bulan sejak kaumasuk kuliah dan aku masih belum mendapat pekerjaan apapun. Di kamar tidur yang mulai pengap ini aku hanya luntang-lantung tak karuan. Cuaca di luar cukup terik sehingga membuat aku malas untuk keluar. Kemarau masih mencengkram. Aku masih tak bisa apa-apa.
Sore menjelang dan terik mulai berkurang. Aku bergegas berpakaian dan mulai berjalan keluar. Kemana aku pergi? Mungkin taman yang biasa aku kunjungi. Sayangnya kau masih sibuk dengan kelasmu di kampus. Sebenarnya aku ingin menjemputmu tapi rasanya niat lebih menolak. Selama tiga kilometer aku berjalan ke barat.
Malam mulai tiba dan bintang-bintang mulai menyeruak di langit. Kaumemberi kabar bahwa kau sudah pulang. Aku memberi kabar bahwa aku ada di taman. Kaubilang sedang sangat lelah jadi aku menyuruhmu istirahat. Rasanya kau makin sibuk saja. Aku membeli secangkir kopi di taman, tanpa gula dan susu. Lalu kunikmati sendiri.
Banyak pengamen yang berkeliaran. Mereka menghampiri tiap-tiap orang yang beristirahat. Kali ini di depanku sambil menyanyikan lagu tentang rindu. Ah, rasanya aku rindu padamu. Kuberikan mereka secarik uang kertas. Mereka berterimakasih dan berlalu. Namun bayangmu masih berkeliaran di otakku, sama seperti rindu ini.
Sudah hampir dua minggu kita tak bertemu, Nat. Hanya dari puisi dan cerita yang kamu tulis di blogmu kita melepas rindu. Kolom-kolom komentarnya hanya ada nama kita. Seakan itu adalah media terbaik untuk melepas rindu yang mengendap. Tapi tetap saja yang kubutuhkan hanya kamu, dirimu seutuhnya. Maka sambil duduk di taman ini aku menulis di kolom komentar itu, bukan melalui pesan agar terlihat lebih semringah, aku merindukanmu, mari kita bertemu. Lalu aku hanya akan menunggu balasanmu esok pagi, atau tepatnya dini hari. Aku mulai bergegas lagi untuk pulang.
***
Nathasya, aku sudah mendapat pekerjaan. Meskipun bukan perusahaan besar tapi setidaknya bisa memberiku pengalaman. Aku bekerja di pabrik. Lokasinya dekat sekali dengan rumah jadi membuat aku lebih santai. Aku mengabarimu lewat pesan singkat dan kau hanya bilang "Selamat". Ada perasaan lain yang bergejolak di dadaku. Perasaan ini mengalahkan perasaan bahagiaku. Perasaan yang akhir-akhir ini sering muncul. Semacam keraguan atau kebimbangan. Apa yang terjadi?
Kita bahkan sudah sulit untuk bertemu lagi. Dalam sebulan mungkin kita hanya mampu bertemu satu sampai dua kali. Sesibuk itukah kuliahmu? Tak apa, aku harap kau baik-baik saja.
Kau masih ingat Rena, bukan? Sebenarnya ia juga satu pekerjaan denganku di pabrik yang sama. Mungkin aku akan sering bersamanya lagi. Aku harap kau tidak cemburu lagi seperti yang dulu-dulu. Kami hanya akan menjadi rekan kerja, aku janji. Percayalah.
Aku mulai menyiapkan persiapan kerjaku besok. Aku pergi ke mall untuk membeli sepatu kerja yang baru. Rena mau mengantarkanku dia bilang dia juga ingin membeli sesuatu. Aku mengiyakan dan kami pun pergi bersama. Dengan sepeda motor yang dulu diberikan Ayah kami menuju mall tersebut. Mall yang cukup jauh tapi dekat dengan kampusmu itu. Aku juga berharap bisa bertemu kamu di sana. Siapa tahu?
Menjelang malam kami tiba. Parkiran cukup penuh mengingat ini adalah malam natal. Aku sibuk mencari tempat parkir yang kosong. Semua penuh sesak. Penjaga parkir memberitahuku satu tempat yang kosong, di samping motor gede yang biasa milik orang-orang kaya. Kuparkirkan tepat di sampingnya. Kukunci dan lalu pergi, menyusul Rena yang tadi menunggu di depan pintu masuk. Aku masuk ke dalam.
Mall benar-benar ramai dan sesak. Orang-orang berkeliaran di tiap-tiap sudut. Banyak toko-toko menawarkan sale besar-besaran. Tak salah aku pergi malam ini. Rena meminta untuk diantarkan terlebih dahulu membeli keperluannya. Aku mengiyakan dan mengantarnya. Rupanya dekat dengan toko sepatu. Maka sekalian saja aku melirik ke dalamnya. Semuanya bagus-bagus sehingga membuat aku sulit memilih. Rena datang mengatakan tak ada barang yang ia perlukan di sana. Aku memintanya membantuku memilihkan sepatu yang cocok. Ia mengiyakan dan mulai mencarinya. Ia pilih satu, harganya murah dan sesuai seleraku. Aku senang sekali.
Kami lapar dan menuju tempat makan yang berada di dalam mall. Lama kami berkeliling karena luasnya mall tersebut. Tanpa sengaja aku melihatmu di dalam tempat makan yang lain. Aku ingin menghampiri dan menyapamu, tapi kau terlihat sedang asik sekali dengan teman-teman kuliahmu. Aku mengurungkan niatku dan mulai mencari tempat makan lagi bersama Rena.
Setelah kenyang dan membayar semuanya, kami bergegas pulang. Ketika di depan pintu mall aku melirik ke parkiran dan melihatmu menaiki motor yang diparkir di samping motorku. Kamu sepertinya tidak sadar itu adalah motorku. Kamu duduk di kursi belakang dan yang mengendarai adalah salah satu laki-laki yang tadi kulihat di tempat makan. Kubiarkan saja karena aku juga tak mau kaumelihat aku sedang bersama Rena. Aku tahu itu teman akrabmu di kampus.
***
Orang-orang menikmati malam tahun barunya masing-masing. Ada yang bersama keluarga, ada yang bersama teman. Malam ini kita berdua, Nat. Kaududuk di sebelah kanan dan aku di sebelah kiri bangku taman. Kau mulai berucap.
"Kita putus ya," katamu secara tiba-tiba.
Setelah mendengarnya apa respon terbaik yang harus aku lakukan? Coba beritahu aku, Nat. Kita bahkan jarang bertengkar, hanya jarang bertemu saja, tapi sekarang kau meminta untuk putus. Putus?
"Putus?" jawabku telat dan balik bertanya.
"Iya, putus. Aku mau kita putus. Maafkan aku, Dhika."
"Tapi kenapa? Kok tiba-tiba?"
"Maaf tapi aku rasa kita mulai tidak cocok. Maafkan aku. Aku harus pergi," katamu. Kata terakhirmu sebelum kaupergi.
Aku melihatmu dari bangku taman. Jalan yang setengah berlari membuatmu makin jauh dari pandangan. Putus? Kita putus?
Pukul dua belas malam dan kembang api makin ramai meledak di atas. Langit dipenuhi warna-warna indah. Layaknya tahun baru biasanya, semua bersorak, senang. Aku masih di sini, di bangku taman, melihat riuhnya kembang api. Kembang api terus meriahkan malam ini,  kembang api menyembunyikan tangisku.
***
And they say that I will find another you, that can't be true...
Seminggu berlalu dan nomor telepon genggammu telah berganti. Aku tak bisa lagi menghubungimu. Aku buka lagi blog kesayanganmu, tapi sudah kauhapus semuanya. Lalu bagaimana dengan kita? Tentang kenangan-kenangan yang pernah kita cipta.
Sama seperti Januari pada umumnya, hujan berjatuhan dengan deras. Aku masih terjebak di kenangan yang belum bisa kuhapus. Lebih tepatnya belum bisa menerima kau meminta putus. Liburan kerja hanya di rumah saja sambil mendengarkan musik. Rena sering mengajak pergi keluar tapi rasanya masih berat bagiku. Malam ini wangi hujan mencoba menenangkan.
Tidak seperti malam biasanya, Nat. Malam ini jadi lebih kelabu hanya karena hujan yang terus mengguyur. Sudah tidurkah kau sekarang?
Aku harap mimpi yang datang padamu adalah semua yang baik. Semoga saja. Kutarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhku, kalau bisa juga semua kenanganku. Satu hal lagi, kumohon jangan datang ke mimpiku. Mari kita berdua belajar saling melupakan.
***
Koran minggu pagi datang. Aku membeli satu dan akan kubaca sambil menyeruput kopi. Nampaknya negara ini masih tidak baik-baik saja. Entah politiknya, ekonominya, sampai manusianya. Segalanya masih didominasi hal-hal yang buruk, koran minggu itu. Kubuka lagi kolom yang lain, kali ini kolom seni. Ah, negara ini masih punya orang-orang yang indah hatinya. Semua bisa dilihat dari segala seni yang dituangkan di dalam koran minggu itu. Kubuka halamannya satu per satu. Ada cerpen yang diterbitkan. Penulisnya adalah kamu.
Cerita ini aku tahu dari mana. Ini adalah aku. Tapi mengapa harus aku? Bukankah kita sudah saling berjanji untuk saling melupakan? Biarpun tak ada kalimat yang kita lontarkan. Kamu jahat, Nat. Kamu melanggar janji. Kamu memasukkan cerita itu ke koran ini karena tahu aku selalu membeli koran ini. Nat, cerita ini sungguh memberi pesan yang tersirat. Apakah aku harus menjawab pesanmu ini? Ada alamat e-mailmu. Baiklah akan aku catat.
Rena lagi-lagi mengajakku pergi keluar. Sepertinya kali ini aku tak bisa lagi menolak. Alasannya sederhana: tidak enak hati. Aku bersiap-siap mandi. Membereskan rumah lalu siap berangkat. Destinasinya adalah dunia laut. Kamu tahu tempat itu, Nat? Itu tempat yang pernah kita datangi. Kau menanyakan macam hal tentang ikan-ikan yang ada dalam akuarium yang besar itu. Kau sangat senang ketika melihat pertunjukkan lumba-lumba dan berkesempatan mengusap kepalanya. Aku masih ingat tawamu hari itu. Ah! Pergilah kenangan! Aku akan pergi.
Rena adalah wanita yang bisa kubilang manja, tapi tidak merepotkan. Ia senang sekali bisa datang ke tempat ini. Saking senangnya aku selalu ditarik ke sana-kemari olehnya. Dia sangat lucu. Wajahnya selalu kupandangi dan dia tersenyum kepadaku. Aku akan melepas penat hari ini. Mungkin juga melepas kenangan yang masih tertahan.
Aku membeli dua es krim. Satu untukku dan satu untuk Rena. Ia senang menerimanya. Kami beristirahat setelah lama memutari tempat yang luas ini. Rena banyak bercerita tentang hal lain. Aku menanggapinya. Sepertinya kami cocok.
Kami berjalan pulang. Rena merangkul lenganku. Mendekapnya dan merapatkan kepalanya kepada lenganku yang ia pegang.
"Dhika, apakah kamu tidak tertarik denganku?" tanyanya yang sangat ambigu.
"Tertarik bagaimana?" tanyaku dengan sok tak mengerti.
"Tertarik.... Menyukaiku."
"Oh tentu saja aku menyukaimu. Memang kenapa?"
"Menyukai sebagai apa?" Rena mendesak.
"Yaa menyukai sebagai sahabat," jawabku lagi.
"Ih menyebalkan!" Rena menjadi ambek.
Aku tahu maksudnya tapi aku memang sengaja menghindarinya. Maafkan aku, Ren. Nathasya masih belum mau pergi dari bayanganku.
"Kita pacaran yuk. Kamu sudah putus dengan Nathasya 'kan?" Rena mulai menyerang.
"Eh... Pacaran? Aduh bagaimana ya? Kok mendadak sih?" aku sengaja menjadi salah tingkah.
"Masa mau diskusi dulu! Bagaimana? Kamu mau?"
"Kasih aku waktu ya. Mungkin tiga hari. Tapi kamu kok berani 'nembak' duluan? Biasanya tidak ada wanita yang mau."
"Ah masih saja kamu terkekang dengan stereotip lama itu. Jadul kamu, Dhik. Hehe," Rena mulai tertawa.
Wajahku menjadi memerah. Aku palingkan wajah dan mulai berjalan lagi. Kami berpisah di persimpangan. Ia ke kanan dan aku ke kiri. Bagaimana menurutmu, Nat?
***
"Oh cerpen itu? Itu bukan tentang kamu kok. Mungkin hanya kebetulan saja. Maaf ya kalau kamu merasa seperti itu," ucapmu dari balasan email yang kukirim tiga hari lalu.
Jadi bukan aku? Mungkin aku terlalu percaya diri. Ah, aku lupa harus memberikan Rena jawaban. Bagaimana ini? Kudengar pintu diketuk. Aku menghampirinya. Ternyata itu Rena. Aku mempersilakan masuk. Aku sedang sendiri hari ini. Biasanya di hari minggu Ayah dan Ibu pergi ke rumah saudaraku. Bukan hal yang aneh jika Rena ke rumah. Ia hampir sering ke sini. Setelah lulus sekolah tentunya. Kami mencari pekerjaan bersama-sama. Kali ini ia datang lagi dan aku tahu tujuan utamanya.
"Kamu sudah makan, Dhik?" tanya Rena ketika baru masuk.
"Belum. Aku belum sarapan."
"Aku buatkan ya. Aku pinjam dapurmu dan meminta bahan masakan di rumahmu."
"Ya tak apa."
Ia mulai bergegas ke dapur. Entah mengapa aku berpikir Rena cantik sekali hari ini. Aku jadi tersipu.
"Ren, aku mandi dulu ya. Tak apa kan?"
"Iya, Dhik," ucap Rena sambil menumis masakan.
Di bawah shower aku merenung baik-baik. Bagaimana jawaban yang baik? Jika aku menolak, alasan aku menolak hanya karena kamu, Nat. Mungkin sebaiknya aku menerimanya. Ya, aku akan menerimanya!
Setelah bersih semua tubuhku dan segera berpakain, aku menghampiri Rena. Masakannya telah siap untuk dinikmati. Kami makan berdua pagi itu. Nikmat sekali masakannya. Saking lahapnya aku tak dengar Rena memanggilku.
"Dhik! Hei dengar dong!" Rena sedikit berteriak.
"Maaf Ren. Aku menikmati sekali sarapannya. Enak sih. Hehe."
"Dhik, mengenai pertanyaan waktu itu. Bagaimana jawabannya?"
"Makan saja dulu. Nikmati sarapanmu," aku meminta.
Kami menghabiskannya, masakan Rena. Mungkin lain kali kamu harus mencobanya, Nat. Setelah beres semua piring kotor di atas meja, Rena yang mencucinya. Dari belakangnya aku melihat tubuhnya yang memang molek. Secara spontan aku memeluknya perlahan dan membisikkan "Mungkin tak usah pacaran, tapi nikah saja."
Rena tertawa dan mulai menyubit diriku dengan gemas. Kami bercanda layaknya kekasih seutuhnya meski aku sadar aku baru memulai langkah yang baru. Ya, benar. Aku melangkah ke arah yang seharusnya.
***
Tiga bulan berjalan dengan cerita yang baru. Hari ini pun aku dan Rena akan bepergian ke Bandung, hanya sekadar rekreasi. Dengan mobil yang sudah kusewa kami bergegas hanya berdua. Tawa menjadi hiasan utama dalam perjalanan. Tiba-tiba saja telepon genggamku berdering. Rena mengangkatnya dan mengaktifkan loudspeaker.
"Halo. Dengan siapa ini?" aku bertanya dengan sopan.
"Dhik, ini aku, Nathasya."
Aku dan Rena benar-benar terkejut. Rena memberi isyarat untuk meneruskan berbicara.
"Ada apa Nat? Tumben kau meneleponku."
"Dhik, aku mau ngomong sesuatu. Aku hamil."
Kali ini kami benar-benar kaget dan meminggirkan mobil.
***
When I get older I will be there by your side to remind you how I still love you...
Anak itu lahir, Nat. Anak kita. Siapapun yang menanam benihnya, aku tetap ayahnya. Dia mirip denganmu. Cantik sekali. Aku akan memberinya nama Ratu. Dialah ratu di kehidupan kita berdua, Nat. Aku akan menggendongnya untuk pertama kali. Ia sangat ringan. Tangisannya sangat merdu. Mungkinkah ia akan menjadi penyanyi? Semoga saja. Ia akan mengembalikan nama baikmu yang tercemar ketika kuliah dulu. Kau bahkan harus keluar dari kampus demi menghilangkan luka yang sudah tergores terlalu dalam. Aku sendiri masih berusaha dengan pekerjaanku dan berharap usaha kita tetap berjalan lancar. Semua demi anak kita.
Rena pergi setelah kita menikah, pergi jauh dari kita. Ia menemui Tuhan lebih awal. Aku tahu penyebabnya dan aku masih berusaha untuk meyakinkan diri bahwa bukan akulah pembunuhnya. Ia menggantungkan dirinya di dalam kamar sambil mendengar lagu yang fenomenal, Gloomy Sunday.
Tapi kini kita punya tanggung jawab yang lain. Kita bukan lagi anak kecil yang merengek ketika punya banyak masalah. Kita adalah orang tua, semuda apapun kita, bagi Ratu-- anak kita.


Jakarta, 22 Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar