Minggu, 02 Januari 2022

2021: Memorabilia Air Mata

Tuhan sangat kejam. Begitu kata yang muncul di kepalaku saat mengingat tahun 2021. Bagi banyak orang, tahun ini mungkin hanyalah tahun-tahun seperti biasanya. Udara yang panas, lalu lembap. Gerimis yang dingin, hingga petir dan badai. Tapi air mata bergelimpangan lebih dari biasanya. Dan bagiku, ini adalah tahun yang sebaiknya tidak pernah ada. 


2019

Bermula dari tahun 2019. Orang-orang mengeluh sedikitnya warna merah pada tanggalan mereka. Dalam setahun mereka dituntut bekerja dan terus bekerja. Kecuali yang memang bekerja pada ritel dan toko-toko. Bagi mereka sama saja. Tapi bagi mereka yang biasa libur pada Sabtu dan Minggu, tanggal merah sangat berarti bagi kesehatan mental mereka. Sedangkan bagiku, aku tidak peduli. Aku baru menyelesaikan studiku sebagai sarjana di tahun ini. Awalnya aku berniat rehat untuk mengistirahatkan kepala. Tapi usia sudah tidak bisa lagi ditampung oleh orang tua. 

Aku mencoba melamar pada beberapa lowongan yang tersedia. Dari pekerjaan reguler hingga paruh waktu. Dan beberapa dari mereka merespons lamaran pekerjaanku. Sayangnya, aku tidak berpengalaman dalam wawancara kerja sehingga banyak gagalnya. Pada akhirnya, aku mengikuti beberapa acara sebagai volunteer dan mengikuti beberapa program magang. 

Tahun 2019 berlalu dengan sangat cepat. Seperti yang sudah ditulis, orang-orang membutuhkan liburan. Hingga akhir tahun pun tanggal merah masih berserakan di hari Sabtu dan Minggu. Hal itu yang membuat orang-orang kesal dan berujar bahwa mereka akan 'membalas dendam’ di tahun 2020. Dan seperti kebanyakan orang, aku juga berharap bisa mendapat pekerjaan dan bisa merasakan liburan. 

Pada saat di penghujung tahun, Indonesia terlibat konflik dengan Tiongkok perihal sebuah pulau. Dengan kekuatan netizennya, Indonesia memberikan komentar-komentar pedas hingga lelucon-lelucon satir. Pada akhirnya Tiongkok memang mundur, tapi bukan karena netizen tentunya. Dan di saat itu, Tiongkok sedang dilanda wabah yang dijadikan bahan lelucon netizen Indonesia. Mereka bilang itu adalah ‘kiriman’ dari dukun-dukun yang ada di Indonesia. Aku hanya tertawa saja melihat komedi-komedi ini. Tapi siapa yang tahu bahwa komedi ini akan menjadi sebuah tragedi?


2020

Tak ada yang terlalu berkesan dalam hidupku di dua bulan awal tahun 2020 ini. Aku hanya melanjutkan aktivitasku sebagai pengangguran yang terus mencari-cari kerja. Beruntung, pada bulan Maret aku kembali mendapat tawaran magang lagi pada sebuah perusahaan les yang terbilang cukup besar. Aku ditawarkan tiga bulan masa magang. Tanpa basa-basi aku terima untuk memenuhi CV. 

Maret 2020. Siapa yang sangka wabah yang menjamur di Tiongkok itu masih belum usai. Berita mengenai wabah itu terus beredar luas. Orang-orang hingga para ilmuwan tidak mengetahui apa yang sedang terjadi.  Hingga akhirnya, wabah itu dinyatakan sebagai pandemi. 

Mundur sebulan ke belakang, berita mengenai wabah ini memang sudah sangat menyebar. Pada tanggal 28 Februari, dinyatakan telah muncul korban pertama dari wabah itu di Indonesia. Wabah itu kita kenang dengan nama Corona. Dan netizen Indonesia kembali mengeluarkan kelakarnya. “Orang Indonesia kebal corona, cukup minum teh hangat saja pasti sembuh!”

Dan di pertengahan Maret, Jakarta melakukan lockdown yang terlambat. Virus penyebab corona yang disebut Covid-19 itu sudah menyebar ke banyak masyarakat Jakarta. Gedung-gedung ditutup. Masyarakat berbondong-bondong membeli masker hingga tenaga kesehatan pun tak dapat bagian. Tisu-tisu alkohol, hand sanitizer, hingga susu pun ludes di pasaran. Harga-harga masker melonjak tinggi. Kepanikan di mana-mana. Beberapa orang meraup keuntungan dari kepanikan yang terjadi. Sedangkan aku hanya bisa mengelus dada. 

Aku pun diminta untuk bekerja dari rumah selama sisa kontrak. Bekerja dari rumah ini menjadi budaya baru yang aku rasakan. Bagiku, bekerja dari rumah tergolong efektif. Tidak perlu pergi ke kantor, beberapa kebutuhan mudah terpenuhi, dan komunikasi terus berjalan dengan sangat lancar. Semua terjadi selama dua bulan setengah. 

Dalam enam bulan selanjutnya, aku kembali melempar lamaranku ke banyak perusahaan. Sama seperti sebelumnya, beberapa perusahaan merespons namun aku selalu gagal. Untungnya pemerintah memberikan program untuk mereka-mereka yang belum bekerja. Sayangnya, program ini disalahgunakan beberapa pihak. 

Desember 2020. Bulan kelahiran yang selalu kutunggu kehadirannya. Tapi tak hanya itu. Bulan ini adalah bulan di mana akhirnya aku mendapat pekerjaan. Mama senang akhirnya aku bisa berpenghasilan. Wajar, ia sudah memberikan segalanya selama aku mencari kerja. Ia berusaha memenuhi segala kebutuhanku, makanku, dan menjaga sehatku. Ketika ia tahu anaknya akan memiliki gaji, ia merasa lega. Dan aku memiliki cita-cita untuk selalu memberikan apa yang ia mau kelak. 


2021

Sebulan pertama aku bekerja, tak ada kendala yang berarti. Semua masih dilakukan dari rumah. Aku mencoba membangun hubungan kerja yang baik dengan rekan-rekan. Beruntungnya, semua rekan-rekan kerjaku memiliki frekuensi yang sama denganku. Jadi, kami bisa berbincang tanpa rasa canggung dan membuat pekerjaan berjalan lancar. 

Mama pun masih tidak meminta yang tidak-tidak. Hanya sekadar meminta makanan-makanan mahal saja yang masih aku sanggupi. Di beberapa waktu, kita mengkhayal dapat membangun rumah yang kecil ini menjadi lebih luas. Aku hanya bisa berkata insya Allah. Tapi itu juga memang keinginanku. 

Keinginan pertama dari diriku yang terkabulkan adalah aku membeli sebuah sepeda motor dengan uangku sendiri. Rencana sudah dipikirkan sejak Januari. Mama juga mendukung. Nantinya motor itu akan mengantarkan dia ke dokter untuk periksa rutin. Dan rencana itu terealisasi di bulan Mei. Meskipun aku masih bekerja dari rumah, aku bisa menggunakannya untuk mengantar Mama ke mana pun dia mau. Saat itu, aku pikir aku adalah orang paling bahagia. 

Bulan Juni. Di mana kekasihku ulang tahun yang berbarengan juga dengan kakakku. Kami merayakannya dengan sangat sederhana di rumah. Mama senang melihat calon menantunya yang berulang tahun. Mama juga senang melihat perayaan kecil-kecilan ulang tahun anak pertamanya yang segalanya aku yang persembahkan. Aku bercita-cita bisa memberikan banyak hal pada keluarga ini. 

Selain rasa bahagia itu, di bulan Juni 2021 ini menjadi bulan paling mencekam yang dirasakan semua orang di Indonesia. Covid-19 makin berkecamuk. Korbannya tidak main-main. Bisa membuat rumah sakit lumpuh. Semuanya penuh. Oksigen habis di mana-mana. Orang-orang meninggal. Pemakaman tak terkendali. Ketakutan akan wabah ini membuat banyak orang melakukan banyak penolakan terhadap orang-orang yang meninggal. Pemerintah pun bergerak cepat dengan mengadakan satu kompleks pemakaman khusus Covid-19 di Rorotan, Jakarta. Vaksinasi terus digalakkan, tapi banyak orang-orang yang tetap skeptis. Semua berita itu menjadi momok dalam sekejap. Dan siapa sangka, Mama terjangkit saat aku melakukan vaksinasi. 

Mama memang sering sakit. Dia juga memiliki riwayat diabetes. Saat itu ia mengeluh tangannya juga sakit. Akhirnya kami memutuskan untuk ke yakes di tengah badai ini. Ketika di yakes, dokter menyarankan untuk melakukan tes darah untuk mengetahui kadar gula darahnya. Ironisnya, ketika ia melakukan tes, justru ia terjangkit Covid-19. Awalnya kami mengira itu hanya sakit demam biasa. Aku pun mencoba mengantarnya lagi ke yakes. Namun, hari itu yakes tutup, dan Mama harus menunggu seminggu sampai yakes kembali dibuka. 

Sebelum satu minggu itu, aku dan kakakku mencoba membawanya ke rumah sakit. Sayangnya, rumah sakit menolak karena sudah penuh dengan pasien-pasien Covid-19. Mama pun hanya bisa masuk ketika sudah terkonfirmasi positif. Kami kembali dengan Mama yang masih menggigil. Saat itu biaya tes mahal, dan aku tidak bisa menyanggupinya. Tapi beberapa hari kemudian, di akhir bulan Juni, Mama tes dan dinyatakan positif. Ia mendekam di UGD, dan aku ingin menghancurkan seisi dunia. 

Pada Juli 2021, Indonesia masih terus menangis. Aku selalu mendengar suara-suara sirene ambulans di jalanan. Aku juga masih khawatir mengenai kondisi Mama. Dokter jarang menghubungi. Aku tidak bisa bertemu langsung di kamar perawatan. Pekerjaanku kian menumpuk, dan aku kurang konsentrasi. Ketika dokter menelepon, aku bergegas menuju rumah sakit. Kabar yang kudengar tak pernah selalu baik. Hingga di tanggal 11 Juli, ketika cucu pertama Mama ulang tahun, dokter menelepon untuk ketiga kalinya. Dia mengatakan bahwa aku harus mengikhlaskan segalanya. Mama, pulas selamanya. 

Dengan segera aku mengurusi segala yang dibutuhkan. Kekasihku terus menemani aku. Teman-teman mendukungku. Dan aku harus bisa setegar-tegarnya. Ombak yang berlalu sudah sangat deras. 

Waktu terus berjalan. Dan aku mulai menstabilkan segalanya. Bagaimana aku harus mengatur rumah. Bagaimana kebutuhan harus tetap terpenuhi. Segalanya harus bisa kuatur sejak Mama pergi. Dan aku pikir semua bisa aku kendalikan. Aku sudah karyawan tetap pada pekerjaanku. Aku merencanakan menikah tahun depan. Aku ingin membeli mobil. Aku mencoba menormalkan pikiranku dengan keinginan-keinginan egoisku. 

Hingga Desember datang, dan aku menantikannya. Aku dan kekasihku merencanakan liburan awal tahun. Kami sudah benar-benar muak dengan pekerjaan. Dan kami butuh udara segar yang membantu kepala menjadi dingin. Tapi, ketika rencana sudah hampir rampung, di pertengahan bulan aku menerima telepon dari HRD yang mengatakan, “Maaf, ya.”

Kalimat-kalimat selanjutnya menggambarkan bahwa aku harus selesai. Aku terkejut. Selesai? Apa benar-benar harus selesai? Kenapa aku? Kenapa dunia tidak hancur? Menurutku, itu hal terburuk yang seharusnya terjadi di tahun 2021 ini. Aku tak punya apa-apa lagi. 

Namun, setelah mengetahui beberapa hal, aku bersyukur. Aku melihat ke belakang mengenai keinginan-keinginan egoisku. Aku ingin pergi dari sini, tapi aku tidak bisa. Aku harus memaksa diriku bertahan, tapi mentalku sudah lelah. Aku tidak tahu harus menangis sedih atau bahagia, tapi aku ingin  menangis. Sepertinya aku dibawa oleh Tuhan pada jejak yang lebih baik. Semoga, suatu hari nanti, jejak yang Tuhan persembahkan padaku datang. Karena aku selalu tahu, Tuhan sangat baik. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar