Apa yang akan aku tulis
pada kertas putih yang terlihat masih suci ini? Tidak ada. Aku tak mau
melukainya barang setitik. Kasihku pada kertas tersebut sama seperti bapak pada
anaknya. Membelainya dengan lembut penuh perasaan. Tapi ini hanyalah kertas.
Putih dan tak memiliki sesuatu yang hebat. Hanya bidang yang diperuntukkan
tulis atau coretan. Goresan tinta pun takkan melukainya. Bahkan sebaliknya,
memberi warna tersendiri pada tubuhnya. Rasanya aku ingin mencumbunya.
Tak
dengan kertas itu. Tetapi dengan wanita yang terlalu jalang bagiku yang sedang
membaca sebuah majalah sambil terduduk pada sandaran bantal yang ia pakai. Ku
hampiri dan sedikit kuajak bicara. Merayu untuk menjadi lebih tertarik. Hingga
akhirnya kurebahkan diriku di samping tubuhnya yang terlampau elok. Ia pun
bereaksi dengan terduduk di atas perutku. Maka terjadilah persenggemaan yang
menarik. Ketika ia mulai membuka pakaiannya hingga aku yang menjadi korban pemuasan
seksualnya.
Terlalu
bosan untuk bersenang-senang. Kutinggalkan dia di atas ranjang dengan lumuran
darah sebagai penghiasnya. Begitu pula tenggorokannya yang berhias pisau dapur
yang sudah sedari tadi diletakkan di atas meja kecil di samping ranjang.
Setidaknya ia sudah sangat menikmatinya dalam matinya. Hingga aku pun kembali
tenggelam dalam ribuan lembaran kertas yang suci itu lagi. Kali ini aku mau
sedikit berbagi kasih padanya. Menceritakan apa yang ku harapkan pada malam
penghabisan itu. Sebuah kisah pilu yang kugambarkan maupun kugoreskan masih
saja terlalu sederhana. Ada baiknya aku keluar dan memungut jaket kumal yang
pernah aku beli di tukang loak tikungan samping persimpangan.
Lelaki
kecil bertubuh lemah yang sedang meringkuk sedih menjadi hiasan yang menarik
pandanganku. Mengapa ia di sini? Ada baiknya ku bawa pergi dan mengajaknya
makan malam. Lahap sekali anak bocah itu makan. Seperti tak pernah diberi gizi
selama bertahun-tahun. Wajahnya pun sangat ceria dan sesunguhnya membuatku
sedikit tenang. Kuantarkan kembali anak itu ketempat semula. Ia pun kembali
meringkuk di tanah tempat biasa tertidur. Bedanya, kali ini dengan nafas
tersengal yang kemungkinan dalam setengah jam hanya akan menjadi seonggok mayat
saja. Ya, racunnya menyebar terlalu cepat.
Kembali
lagi aku terjebak pada ribuan kertas yang masih sangat suci untuk dikotori. Dan
aku masih terlalu malas untuk berdongeng pada kertas-kertas yang sedang melucu
di hadapanku. Tinta juga mulai menari-nari dalam kubangannya. Aku ingin
bergegas dan segera terlelap. Ya, setelah kertas-kertas itu menjadi rangkaian
cerita yang menjadi sebuah pengakuanku terhadap kisah yang telah ku lalui.
Sangat menyenangkan, bukan?
Tetapi
kasihku pada hamburan kertas itu masih harus terjegal. Malam ini ada saja
kejadian yang menyibukkan. Terdengar sirine mobil polisi mengarah apartemenku.
Ya, aku tentu tahu mengapa. Dengan sigap aku membereskan semua kekasihku untuk
ditaruh ke dalam tas, membuka jendela, menyiapkan sesuatu seperti tali, dan
terjun ke bawah. Sayangnya polisi terlalu sigap dan mau tak mau aku menyerahkan
diri.
Di
kantor polisi ini aku dipaksa bercerita. Namun aku menolak dengan keras untuk
bercerita sebelum aku merangkul kekasihku, hamburan kertas. Aku akan bercerita
pada mereka terlebih dahulu, tak mau pada yang lain! Maka pulangkanlah aku.
Pulangkan pada sebuah rumah yang sesungguhnya dimana aku dan kertas saling
menyibak cerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar