Selasa, 06 Oktober 2015

Kertas-Kertas


Apa yang akan aku tulis pada kertas putih yang terlihat masih suci ini? Tidak ada. Aku tak mau melukainya barang setitik. Kasihku pada kertas tersebut sama seperti bapak pada anaknya. Membelainya dengan lembut penuh perasaan. Tapi ini hanyalah kertas. Putih dan tak memiliki sesuatu yang hebat. Hanya bidang yang diperuntukkan tulis atau coretan. Goresan tinta pun takkan melukainya. Bahkan sebaliknya, memberi warna tersendiri pada tubuhnya. Rasanya aku ingin mencumbunya.


            Tak dengan kertas itu. Tetapi dengan wanita yang terlalu jalang bagiku yang sedang membaca sebuah majalah sambil terduduk pada sandaran bantal yang ia pakai. Ku hampiri dan sedikit kuajak bicara. Merayu untuk menjadi lebih tertarik. Hingga akhirnya kurebahkan diriku di samping tubuhnya yang terlampau elok. Ia pun bereaksi dengan terduduk di atas perutku. Maka terjadilah persenggemaan yang menarik. Ketika ia mulai membuka pakaiannya hingga aku yang menjadi korban pemuasan seksualnya.
            Terlalu bosan untuk bersenang-senang. Kutinggalkan dia di atas ranjang dengan lumuran darah sebagai penghiasnya. Begitu pula tenggorokannya yang berhias pisau dapur yang sudah sedari tadi diletakkan di atas meja kecil di samping ranjang. Setidaknya ia sudah sangat menikmatinya dalam matinya. Hingga aku pun kembali tenggelam dalam ribuan lembaran kertas yang suci itu lagi. Kali ini aku mau sedikit berbagi kasih padanya. Menceritakan apa yang ku harapkan pada malam penghabisan itu. Sebuah kisah pilu yang kugambarkan maupun kugoreskan masih saja terlalu sederhana. Ada baiknya aku keluar dan memungut jaket kumal yang pernah aku beli di tukang loak tikungan samping persimpangan.
            Lelaki kecil bertubuh lemah yang sedang meringkuk sedih menjadi hiasan yang menarik pandanganku. Mengapa ia di sini? Ada baiknya ku bawa pergi dan mengajaknya makan malam. Lahap sekali anak bocah itu makan. Seperti tak pernah diberi gizi selama bertahun-tahun. Wajahnya pun sangat ceria dan sesunguhnya membuatku sedikit tenang. Kuantarkan kembali anak itu ketempat semula. Ia pun kembali meringkuk di tanah tempat biasa tertidur. Bedanya, kali ini dengan nafas tersengal yang kemungkinan dalam setengah jam hanya akan menjadi seonggok mayat saja. Ya, racunnya menyebar terlalu cepat.
            Kembali lagi aku terjebak pada ribuan kertas yang masih sangat suci untuk dikotori. Dan aku masih terlalu malas untuk berdongeng pada kertas-kertas yang sedang melucu di hadapanku. Tinta juga mulai menari-nari dalam kubangannya. Aku ingin bergegas dan segera terlelap. Ya, setelah kertas-kertas itu menjadi rangkaian cerita yang menjadi sebuah pengakuanku terhadap kisah yang telah ku lalui. Sangat menyenangkan, bukan?
            Tetapi kasihku pada hamburan kertas itu masih harus terjegal. Malam ini ada saja kejadian yang menyibukkan. Terdengar sirine mobil polisi mengarah apartemenku. Ya, aku tentu tahu mengapa. Dengan sigap aku membereskan semua kekasihku untuk ditaruh ke dalam tas, membuka jendela, menyiapkan sesuatu seperti tali, dan terjun ke bawah. Sayangnya polisi terlalu sigap dan mau tak mau aku menyerahkan diri.

            Di kantor polisi ini aku dipaksa bercerita. Namun aku menolak dengan keras untuk bercerita sebelum aku merangkul kekasihku, hamburan kertas. Aku akan bercerita pada mereka terlebih dahulu, tak mau pada yang lain! Maka pulangkanlah aku. Pulangkan pada sebuah rumah yang sesungguhnya dimana aku dan kertas saling menyibak cerita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar